Menjadi Gereja Tanpa ke Gereja

 Di masa pandemi ini semakin banyak orang yang mengalami perubahan, juga termasuk dalam perubahan cara bergereja. Dalam pemahaman persembahan waktu dalam LKKJ yang selama ini saya ikuti, persembahan waktu adalah persembahan waktu kita untuk datang dan beribadah ke gereja. Mengikuti berbagai kegiatan di gereja juga masuk dalam hal ini. 

Namun seiring dengan berkembangnya pelayanan online yang marak di masa pandemi, maka cara kita bergereja menjadi berubah. Kita cenderung mengikuti ibadah secara online. Mungkin bulan November ini sudah banyak gereja kembali membuka pintunya agar orang banyak bisa datang kembali ke gereja, tapi pertanyaan besarnya adalah, berapa banyak yang akan kembali ke gereja. 

Gejolak pandemi menimbulkan jenis jemaat baru, yaitu jemaat bergereja tanpa ke gereja. Mereka bisa mengikuti berbagai kegiatan pelayanan dan khotbah dari berbagai gereja, interdominasi, seolah menjawab kehausan mereka akan Firman Tuhan, sebagai jawab atas kekuatiran mereka menghadarpi pandemi ini. Di mana kekuatiran akan kesehatan, ekonomi menguasai pikiran banyak orang. Mereka takut untuk mati, terutama mati dibungkus plastik. Bahkan ketakutan ekonomi karena gejolak pandemi menggulung usaha mereka, membuat mereka dipecat, dan hilang pengharapan. 

Jawabannya adalah di pelayanan online yang dilakukan banyak gereja, dan bukan hanya gereja, tapi juga banyak orang yang mendadak mahir berkhotbah di channel youtube, instagram dan facebook yang menghiasi jutaan warga Indonesia. 

Tidak dapat dipungkiri, memang semua ini telah merubah cara kita bergereja. Tapi ada beberapa hal yang menyedihkan dan memang harus menjadi perhatian kita bersama. 

Pertama, orang menjadi tidak terikat dengan waktu dalam beribadah. Beribadah, bersekutu seyogyanya menyediakan waktu , tempat khusus untuk bersama-sama, bersekutu dengan umat lain, beribadah mengikuti jalannya ibadah. Sekarang tidak. Di jam yang sama, orang tetap saja dalam aktifitasnya, berolahraga, dan mengakses channel youtube ibadahnya di saat telah selesai, telah senggang. Tidak ada waktu khusus lagi yang dialokasikan. Bahkan seolah Tuhan diaturnya, sehingga dia bisa mengaksesnya kapan saja, sesempat waktunya. 

Kedua, orang tidak mengikuti liturgi. Ibadah selalu merupakan suatu urutan, proses yang tidak bisa terpisahkan satu dengan lain. Tapi orang sekarang hanya langsung saja ke intinya, mendengar khotbahnya, dan bahkan kemudian setelah selesai tidak mengikuti ibadah online hingga selesai. Rata-rata view hanya difokuskan ke saat khotbah disampaikan saja. Benar-benar Tuhan diaturnya.

Ketiga, melupakan persembahan uang. Memang tidak semua bisa memberikan secara fisik, tapi selalu ada persembahan uang yang diperlukan untuk membangun rumah Tuhan bahkan dari jaman dulu kala. Dengan ibadah online, orang tidak lagi memberikan persembahan. Maka otomatis jumlah persembahan menurun bahkan sampai 70% di awal pandemi. Banyak gereja bahkan tidak bisa lagi membiayai operasionalnya, dan harus melakukan banyak penghematan. Tidak hanya gedung gereja yang sepi, tapi jumlah persembahan pun sepi isinya.

Keempat, ala-carte. Layanan online memang akan cenderung personalise. Saat kita mengakses channel gereja tertentu, atau channel pengkhotbah tertentu, maka secara personalisasi kita akan melihat channel sejenis , maka mulailah eksplorasi channel kita. Dan bagi gereja yang belum, atau telat mempersiapkan kanal ini, maka jelas jemaat nya akan beralih ke lain hati. Dalam satu hari, orang bisa mengikuti hingga tujuh kegiatan pelayanan online, karena rasa haus dan ingin tahu mereka. Bagi mereka yang telah menemukan kanal yang cocok, mereka akan terus mencari kanal itu. 

Kelima, berapa banyak menu. Karena sangat personalisasi, sangat mungkin kita memilih beragam menu yang sesuai. Mungkin kita akan cenderung suka mendengar pujian online, atau khotbah singkat online, durasi rata-rata 10 menit, tapi mungkin juga ada yang suka dengan kegiatan online yang panjang, hingga dua jam. Banyak pilihan disana, dan pastinya, gereja kita belum tentu bisa menyediakan semua itu, maka mulailah 'jajan' rohani ini terjadi lagi. Kali ini secara online.

Inilah tren baru yang harus disikapi dengan segera. Kecenderungan umat lebih memilih bergereja secara online dibandingkan dengan datang ke gereja menjadikan kita akan memiliki "gereja tanpa ke gereja". Maka pelayanan online digital ministry harus menjadi konsentrasi banyak pengurus gereja dan para pendeta. Memperlengkapi mereka untuk bisa melayani secara online, dan sekaligus juga mengajak umat kembali ke gereja, ini menjadi hal yang sangat penting saat ini. 

Pandemi akan beralih menjadi endemi, tapi umat yang telah terlanjur menyukai pelayanan online mungkin akan sulit diajak kembali ke gereja. Maka perlengkapi diri kita agar tetap juga bisa melayani umat gereja tanpa ke gereja ini..

Comments

Popular posts from this blog

Guru Palsu

Menutup Tahun 2022