Kepemimpinan Yesus

KEPEMIMPINAN YESUS

11 May 2013
dalam Buku:
Ennoble, Enable, Empower Kepemimpinan Yesus Sang Almasih
Karangan Dr. Anthony D’souza

1. PENGANTAR
“Jika para pemimpin ingin menunjukkan kepemimpinan yang sejati dan melakukan sesuatu yang sungguh berbeda, mereka harus belajar menghadirkan cara kepemimpinan Yesus.” Pernyataan tersebut merupakan sebuah kalimat yang menarik bagi kelompok kami dan menjadi alasan utama pemilihan buku ini sebagai materi yang cocok untuk dibahas bersama. Sosok Yesus merupakan sosok pemimpin yang ideal. Pemimpin yang ideal ini bukanlah seperti sosok pemimpin di sebuah perusahaan biasa atau pemimpin dalam organisasi pada umumnya. Dapat diandaikan bahwa Yesus adalah pemimpin yang ada di perusahaan Allah yang memiliki produk yang dibutuhkan oleh umat manusia, yakni keselamatan seluruh umat manusia.

Kita sebagai pengikut Yesus tentunya ingin lebih dekat mengenal bagaimana cara Yesus memimpin atau menjalankan “perusahaan” Allah di dunia ini. Semua akan dipaparkan oleh kelompok dalam pembahasan singkat melalui penjelasan selanjutnya.
2. MISI KEDATANGAN YESUS DAN VISI HIDUP-NYA
Jikalau para pemimpin mempromosikan gaya kepemimpinan bertolak dari pelbagai teori dan pengalaman, maka Yesus justru menampilkan model kepemimpinan yang bertolak dari revelatio Allah atas-Nya. Dalam Perjanjian Lama, khususnya Kitab Yesaya, Nabi Yesaya meramalkan seorang pemimpin yang lahir dari keturunan Daud (Bdk Yes 11:1-16). Ramalan ini mencapai kegenapan dalam diri Yesus Kristus.
Misi utama Allah yakni ingin menyelamatkan manusia dari kuasa dosa. Yesus diutus oleh Bapa untuk melanjutkan misi Bapa-Nya. Yesus menyadari diri-Nya sebagai kegenapan dan kepenuhan ramalan para nabi Perjanjian Lama. Maka, misi Yesus tidak lain juga merupakan misi Bapa-Nya. Yesus menangkap Misi itu ketika Ia membacakan teks Kitab suci yang berbunyi “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan,dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (Luk 4:7-9)”. Inilah Misi Allah yang dijalankan oleh Yesus. Kedatangan dan kehadiran Yesus ke dunia adalah untuk menyelamatkan manusia dari berbagai situasi hidup. Manusia dipanggil untuk masuk dalam kerangka karya keselamatan Yesus dengan menghadirkan Kerajaan Allah secara konkret dalam pengalaman keseharian. Namun, kedatangan Yesus datang bukanlah semata-mata hanya untuk memenuhi nubuat para nabi dalam Perjanjian Lama. Akan tetapi, Yesus datang untuk memberikan hidup yang sungguh-sungguh melimpah bagi semua orang yang ingin memperolehnya (bdk. Yoh 10:28; 17:2). Bertitik tolak dari teks Kitab Suci di atas, maka misi yang dilakukan oleh Yesus adalah memberitakan atau mewartakan kabar baik dan pembebasan kepada yang ditawan.
Lalu bagaimana dengan visi Yesus? Visi Yesus yakni ‘Kerajaan Allah’. Apa yang dimaksud dengan Kerajaan Allah itu? Kerajaan Allah bukan merujuk pada tempat atau sebuah lokasi, melainkan kerajaan di mana Allah sungguh-sungguh merajai seluruh hidup manusia. Allah sebagai Raja dan manusia sebagai umat yang taat dan tunduk pada-Nya. Allah dipandang sebagai pemimpin yang adil dan bijaksana. Keputusan Allah adalah keputusan yang maha adil dan bijaksana. Berbeda dengan pemimpin duniawi ini yang sarat dengan manipulasi dan KKN (Bdk Mzm 7:18).Visi tentang ‘Kerajaan Allah’ ini dijabarkan dengan sangat mendalam ketika Yesus berkotbah di bukit. Di hadapan para pengikut-Nya, Yesus menjabarkan visi ‘Kerajaan Allah’ dalam beberapa misi sebagaimana tertuang dalam teks di bawah ini. Yesus berkata “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur. Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi. Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan. Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan. Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu (Mat 5:3-12)”. Kotbah di bukit ini semacam kuliah kepada para pengikut-Nya, dan ini adalah sebuah kuliah yang sungguh-sungguh luar biasa. Melalui penjabaran misi itu, Yesus mengajak para pengikut-Nya untuk mengambil bagian secara penuh dalam visi Yesus tentang Kerajaan Allah. Penjabaran visi-misi di atas memberikan pendoman arah kepada para pengikut-Nya. Visi-misi itulah yang menjadi titik acuan seluruh dinamika perjalanan Yesus bersama para murid-Nya. Dengan adanya visi-misi, mengajak para murid-Nya untuk memiliki kesadaran. Kesadaran yang sifatnya intensional. Artinya, visi-misi haruslah terarah kepada sesama dan masa depan. Yesus sendiri telah memberikan contoh kepada murid-Nya dalam mewujudkan visi-misi di atas. Dengan demikian, Yesus tidak hanya berkata-kata dan hanya berhenti pada wacana, melainkan juga dinyatakan dan dipraktikan dalam pengalaman keseharian bersama-sama mereka yang miskin, lapar, haus dan sebagainya.
Dalam pelayanan kepada mereka yang miskin, lapar, haus, Yesus menghampakan dan mengosongkan diri-Nya dengan mengambil rupa seorang hamba (Bdk. Fil 2:6-7). Dia tidak mempertahankan identitas-Nya sebatas anak Allah. Apa artinya menjadi hamba bagi Yesus? Menjadi hamba bagi Yesus berarti menjadi pelayan dan bukan sebaliknya. Konsep pelayan inilah yang diuraikan oleh Anthony D’Souza secara panjang lebar dalam bukunya Ennoble, Enable and Empower.
Anthony D’Souza melihat bahwa dengan menempatkan diri-Nya sebagai hamba, Yesus sesungguhnya mengembangkan model kepemimpinan yang istimewa dan berbeda dengan gaya kepemimpinan duniawi. Dengan mengambil sikap sebagai hamba, Yesus bisa masuk dalam dunia orang kecil dan pengalaman keseharian mereka yang kadang diabaikan oleh pemimpin duniawi. Sikap pemimpin yang mengambil rupa seorang hamba terungkap dengan jelas dalam sikap belas kasih dan perhatian kepada sesama. Pada saat yang sama, Yesus juga mengajak kepada para murid-Nya agar meneladani-Nya. Menjadi pengikut Yesus berarti siap menjadi hamba yang melayani sesama. Yesus berkata:“Aku datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani (Bdk. Mrk 10:45)”.
3. KONSEP KEPEMIMPINAN
Bertitik-tolak dari visi dan misi di atas, maka ada beberapa konsep kepemimpinan Yesus. Pembahasan mengenai hal tersebut akan dijelaskan berikut ini:
A. Pemimpin Sebagai Pelayan
Apakah yang dimaksud dengan ‘pelayan’ dalam kepemimpinan Yesus? Yang dimaksudkan dengan pelayan di sini jelas bukan seperti pelayan makanan, toko atau relawan dalam kegiatan sosial kemanusiaan, melainkan mengandung arti spiritualitas hidup yang mendalam yakni sikap belas kasih dan peduli. Contohnya, Yesus membasuh kaki para murid-Nya (Bdk Yoh 13:5), dan Yesus membagikan roti kepada murid-murid-Nya pada perjamuan terakhir (Mat 26:17). Dari kedua teks ini, kita bisa melihat bahwa Yesus mempunyai maksud untuk memberikan teladan kepada murid-murid-Nya agar melakukan hal sama. Jadi, konsep pelayan yang dilakukan oleh Yesus tidak berhenti pada diri Yesus, tetapi harus menjadi tradisi yang terus-menerus dihidupkan dalam diri murid dan pengikut-Nya selanjutnya.
Dalam buku ini, Anthony D’Souza, memberikan pisau bedah untuk memahami konsep pemimpin-pelayan. Konsep pemimpin-pelayan dipertentangkan dengan pemimpin-otoriter. Pemimpin-otoriter, sangat menekankan sistem komando dan kuasa dalam menjalankan kepemimpinannya. Sistem komando dan kuasa, itu tampak jelas dalam diri orang Farisi. Sedangkan gaya kepemimpinan pelayan Yesus, lebih menekankan sistem relasi dan menutun. Kata relasi di sini merujuk pada komunikasi dua arah. Menuntun dalam artian Yesus menjadi pemimpin sekaligus memberikan teladan bagi murid-murid-Nya.
Ada beberapa ciri Kepemimpinan-Pelayan menurut Anthony D’Souza:
a. Pemimpin Yang Mendengarkan
Pemimpin pada umumnya dihargai karena kemampuannya dalam mendengarkan dan mengambil keputusan. Kemampuan ini perlu diperkuat dengan komitmen yang mendalam untuk mendengarkan orang lain secara sungguh-sungguh. Dalam hal ini, pemimpin berusaha mengidentifikasi kemauan kelompok dan membantu menjernihkan kemauan itu. Mendengarkan adalah sikap untuk memahami apa yang dikatakan, sekaligus dalam upaya berkomunikasi dengan suara hatinya sendiri dan berusaha memahami apa yang dikomunikasikan oleh tubuh, jiwa, dan pikirannya kepada yang lain. Mendengarkan tidak dimenggerti sebagai sebuah sikap pasif, pangku tangan dan sejenisnya. Akan tetapi, sikap mendengarkan sebuah disposisi batin yang terbukan untuk membiarkan Allah berbicara dan membimbingnya agar memiliki kepekaan akan kebutuhan orang yang dilayani.
b. Pemimpin Yang Berempati
Berempati berarti melibatkan seluruh kedirian untuk bisa masuk dalam pengalaman orang lain. Empati merupakan sebuah cetusan relasional. Dengan berempati seorang pemimpin juga bisa mengenali keistimewaan, keunikan dan bakat-bakat mereka yang dipimpin.
c. Pemimpin Yang Menyembuhkan
Menyembuhkan berarti seorang pemimpin-pelayan memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dirinya sendiri dan orang lain. Disposisi pemimpin-pelayan di sini lebih berperan sebagai motivator.
d. Persuasif
Para pemimpin-pelayan mengedepankan persuasi daripada otoritas jabatannya. Persuasi yang dimaksudkan di sini adalah usaha untuk meyakinkan orang lain dan bukan memaksakan penyesuaian. Itu berarti yang dilayani harus sungguh-sungguh menemukan sendiri kesadaran akan kekuatan dalam dirinya.
e. Komitmen Untuk melayani
Komitmen adalah kata kunci penting dalam melayani. Meskipun seorang pemimpin memiliki idealisme yang tinggi, tetapi tidak disertai komitmen, maka hampir pasti sebuah organisasi atau komunitas yang dipimpinnya tidak akan berjalan. Komitmen merupakan daya dorong batiniah yang memampukan seorang pemimpin dapat mengaktualisasikan visi-misinya secara konkret dalam melayani sesama. Komitmen seorang pemimpin-pelayan adalah untuk melayani kebutuhan orang lain dan membawa pertumbuhan kepada yang dilayani.
f. Membangun Komunitas
Seorang pemimpin-pelayan harus memiliki jiwa keterbukaan. Terbuka dalam artian dia menampilkan dirinya yang sesungguhnya. Dalam konteks pelayanan, seorang pemimpin tidak bertopeng di balik pelayanan yang diberikannya kepada orang lain. Yang dikedepankan oleh seorang pemimpin-pelayan adalah melayani secara total, utuh, dan penuh. Semuanya ini bertujuan agar yang dilayani dapat bertumbuh menjadi pribadi yang dewasa dan bisa membangun komunitas, hidup bersama yang saling membangun satu dengan yang lain.
Pada prinsipnya, dasar untuk melakukan keenam ciri kepemimpinan di atas adalah CINTA KASIH. Cinta kepada Allah-lah yang membuat Yesus sanggup mengorbankan diri-Nya untuk orang lain. Cinta dapat mengatasi rasa beban, kesulitan, sikap egois dan sejenisnya. Cinta tidak mempunyai alasan bagi kemustahilan, karena cinta memandang segala hal menurut hukumnya sendiri, dan segalanya mungkin.
B. Pemimpin Sebagai Gembala
Salah satu kutipan teks Kitab Suci yang tidak asing lagi di telinga kita dalam menganalogikan pemimpin sebagai gembala adalah Mazmur 23 yang berbunyi: “Tuhan adalah Gembalaku, takkan kekurangan Aku …”. Mazmur ini memiliki makna yang mendalam bahwa bagi orang yang mengalami Tuhan sebagai gembala akan merasakan ketenangan akan tuntunan Allah. Mazmur ini adalah salah satu petikan sastra Daud. Mazmur ini mengantar Daud untuk merefleksikan Allah. Allah yang senantiasa menjaga dan melindunginya. Kesadaran ini membawa Daud pada refleksi mengenai pemimpin-pelayan. Fokus utama seorang pemimpin-gembala adalah untuk kebaikan para pengikutnya dan bukan untuk mencari keuntungan sendiri.
Beberapa karakteristik seorang Gembala yang sejati.
 Gembala mengenal domba-dombanya
Gembala mengetahui nama setiap dombanya dan memanggil mereka dengan namanya masing-masing. Ia mengenal frustrasi dan kesulitan domba-dombanya. Bagi sang Gembala, domba-domba yang dilayani bukanlah pribadi-pribadi anonim.
 Kehadiran dan Kesiapsediaan Gembala
Pemimpin dan yang dipimpin harus siap sedia melayani apabila ada yang membutuhkan mereka. Bagi seorang pemimpin, kehadirannya di tengah domba-domba hendaknya memberikan ketenangan dan ketenteraman di kala kehilangan rasa percaya diri. Selain itu, pemimpin juga harus memberikan kepercayaan kepada domba-dombanya.
 Gembala memimpin dari Depan
Memimpin dari depan berarti gembala menjadi teladan bagi domba-dombanya. Gembala harus bisa memberikan contoh yang terbaik kepada domba-dombanya. Dia (gembala) yang membuka jalan dan mengarahkan domba-dombanya.
 Gembala itu berani
Berani untuk membela dan menegakan kebenaran seperti para pelontar tuduhan palsu kepada dombanya. Gembala harus berani menghadapi tantangan yang mengganggu kenyaman domba-dombanya. Gembala harus memberikan dirinya secara total dan memertaruhkan nyawanya demi domba-dombanya.
 Gembala itu menuntun dan membimbing
Yang ditekankan di sini adalah ketegasan seorang gembala. Ketegasan itu penting agar domba-dombanya tidak terjerumus dalam bahaya. Tujuannya tidak lain adalah demi kebaikan domba-dombanya.
 Peduli terhadap domba yang hilang dan tersesat.
Prinsipnya adalah meninggalkan 99 domba yang lain dan mencari satu domba yang tersesat untuk dibawa kembali. Rasa tanggung-jawab seorang gembala ditunjukkan dengan kepedulian. Sikap peduli membawa gemabala untuk keluar dari dirinya dan dari rasa aman bersama 99 domba yang lain. Demikianlah juga seorang pemimpin. Pemimpin harus memiliki jiwa kepedulian kepada yang dilayani dan bahkan yang dianggap sampah oleh masyarakat atau yang dianggap tidak berkualitas dalam komunitas.
 Semangat pengorbanan diri.
Pemimpin-pelayan harus memiliki semangat pengorbanan diri yang total. Goal yang dicapai adalah mengupayakan kebaikan orang lain (dimensi utilitarian).
C. Pemimpin Sebagai Pengurus
Gambaran ketiga tentang model kepemimpinan Yesus adalah pemimpin sebagai pengurus. Kata pengurus memang tidak pernah diindentikkan dengan pribadi Yesus. Pengurus yang dimaksudkan di sini berkaitan dengan sifat kesetiaan, loyalitas, kecerdasaan dalam berusaha dan sense of responsibility. Secara singkat, Anthony D’Souza memaparkan tiga karakteristik pemimpin sebagai pengurus:
a. Mendapatkan Kepercayaan
Ungkapan umum yang sering kita dengar dari orang lain adalah seperti ini, “ Jikalau orang memberikan kepercayaan, jagalah kepercayaan itu.” Ungkapan ini hendak mendeskripsikan mengenai maksud dan arti pada bagian: mendapatkan kepercayaan. Contohnya ada dalam perumpamaan tentang ‘Talenta’ (Bdk. Mat 25:15-28). Majikan mempercayakan hartanya kepada hamba-hambanya. Dari contoh di atas, kita paham bahwa menjadi pengurus berarti mengemban kepercayaan dan bertanggungjawab terhadap kepercayaan yang diberikan.
b. Tanggung-Jawab
Yesus pernah mengatakan: “Berbahagialah hamba yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya datang” (Luk 12:37). Allah telah membekali umatnya dengan berbagai macam talenta, tentunya kita mengembangkan hal itu untuk kerajaaan Allah. Dengan mengembangkan talenta yang diberikan oleh Allah, berarti kita juga bertanggung jawab kepada Allah.
c. Mampu Memertanggungjawabkan
“Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut (Luk 12:48).” Dari kutipan ini, halnya menjadi jelas bahwa kepemimpinan adalah karya pelayanan yang mengembankan tugas sebagai pengurus. Semakin besar kepercayaan yang diberikan, maka semakin besar pula tanggung-jawabnya. Pertanggungjawaban dapat membangkitkan semangat pemimpin-pengurus karena tahu bahwa ada orang di luar dirinya yang memperhatikan karyanya dan menuntunnya tatkala ia melakukan kesalahan. Pertanggungjawaban secara bijaksana tidak bermaksud mengerdilkan inisiatif, tetapi justru untuk memotivasi seseorang untuk bertindak secara kreatif. Setiap orang diberi kebebasan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kepercayaan yang diberikan oleh tuannya.
4. TANTANGAN KEPEMIMPINAN
Anthony D’Souza mengemukakan tantangan kepemimpinan dalam kaitan antara pemimpin dan manager. Dia melihat bahwa ada perbedaan yang sangat besar antara pemimpin dan manager. Manager memiliki karakteristik sikap yang mau mengusai orang lain atau berkuasa atas orang lain. Sedangkan seorang pemimpin lebih memfokuskan dirinya pada visi, sumber daya emosional dan spiritual, dan memiliki komitmen dan cita-cita. Tantangannya ialah banyak pemimpin yang memiliki visi, sumber daya emosional dan spiritual, dan sebagainya, dan ternyata mereka tidak mengorganisir sebuah organisasi yang dipimpinnya dengan baik.
Lalu, muncul pertanyaan apakah yang membedakan dengan manager yang tidak memiliki visi? Anthony D’Souza melihat bahwa pemimpin yang tidak mengorganisir visi dan misinya dengan baik, mungkin kinerjanya jauh lebih baik dari manager. Atau tidak akan bekerja sebaik manager. Tantangan lainnya ialah seorang pemimpin pasti akan berhadapan dengan orang-orang yang memiliki kecenderungan untuk melakukan hal-hal rutin tanpa memikirkannya terlebih dahulu. Dengan kata lain, hal-hal rutin yang dijalankan oleh setiap orang itu tidak harus bertitik-tolak dari visi-misi yang jelas. Hal-hal rutin itu sudah menjadi kebiasaan yang mengalir seiring langkah setiap hari.
Persoalan lain ialah beberapa pemimpin begitu efektif dan yang lain tidak. Pertanyaannya ialah mengapa yang lain sukses dan yang lain tidak mengalami kemajuan? Dari mana orang sukses mendapatkan sumber kekuatan yang dinamis?
Bertitik-tolak dari pertanyaan di atas, maka Anthony D’Souza merasa perlu untuk melihat karakter seorang pemimpin. Ada dua karakter pemimpin, yakni pemimpin yang proaktif dan pemimpin reaktif. Pertama, Pemimpin Pro-aktif. Karakter pemimpin ini adalah pempmpin yang bertanggung jawab secara sadar dan aktif. Ia melihat ke depan dan mengantisipasi masa depan yang dicita-citakan. Ia merencanakan apa yang akan terjadi dan mengatur strategi untuk mencegah permasalahan yang mungkin muncul sehingga tidak menghabiskan banyak waktu untuk memadamkan kebakaran, melainkan untuk mencegah kebakaran. Kedua, Pemimpin Reaktif. Karakter pemimpin seperti ini hidup dengan cara ‘pasca kejadian’. Ia akan menghabiskan sebagian besar waktu untuk bereaksi terhadap peristiwa yang telah terjadi. Pasif menunggu segala hal terjadi dan mengatasi masalah yang muncul. Perhatian tersita untuk memadamkan kebakaran sehingga kadangkala mereka tidak mempunyai waktu untuk memikirkan apa yang menyelamatkan kebakaran tersebut.
Tantangan kepemimpinan yang lain juga tidak terlepas dari goal yang dicapai. Dalam pencapaian sebuah nilai atau dalam menggoalkan visi, tak jarang pemimpin menemukan hambatan dan kekecewaan. Hambatan dan kekecewaan itu muncul dalam diri orang yang tidak memahami kebenaran yang sederhana. Artinya, orang hanya menginginkan kesuksesan dan selalu menghindari kekecewaan dan bahkan takut kegagalan. Takut gagal dan kecewa inilah yang menjadi alasan utama mengapa banyak orang tidak menetapkan tujuan yang bermakna dan menggugah. Jikalau kita menggunakan bahasa Jonathan Swift, gambaran orang yang demikian adalah orang yang tidak memiliki suatu pilihan nilai. Dalam disposisi seperti ini, maka setiap orang harus memiliki jiwa keberanian untuk mengambil risiko. Risiko kegagalan harus diterima. Sukses besar tidak pernah luput dari kegagalan besar. Kegagalan pasti selalu menyertai setiap usaha dan perjuangan. Selain itu, orang juga harus berani ‘melepaskan Rem’. Yang dimaksudkan di sini adalah rem mental dan emosional kita untuk menerima tanggung-jawab atas hidup dan masa depan, membangun sikap mental yang positif, kepercayaan diri dalam mengejar impian hidup .
5. GOAL YANG INGIN DICAPAI DALAM KEPEMIMPINAN YESUS
Pendekatan kepemimpinan yang diterapkan oleh Yesus adalah pendekatan secara empati dan relasional. Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan di atas, sesungguhnya tujuan yang ingin dicapai dalam kepemimpinan Yesus ini adalah untuk melahirkan pemimpin yang memiliki kemampuan dan kualitas Ennoble, Enable, dan Empower. Tiga kemampuan dan kualitas ini sangat penting bagi seorang pemimpin untuk menjalankan tugasnya.
a. Ennoble (mengangkat harkat dan martabat)
Mengangkat harkat dan martabat berarti memberi atau menanamkan makna dan tujuan setiap anggota maupun kerja yang mereka kerjakan. Sikap ini merupakan suatu usaha untuk menciptakan roh dalam organisasi yang bertujuan untuk menunjukkan respek, menjaga martabat, dan mengharapkan keunggulan dalam organisasi. Dalam arti ini jelaslah bahwa seorang pemimpin adalah orang yang dapat memberikan semangat atau roh dalam organisasi yang membawa sebuah organisasi atau kelompok pada tujuan.
b. Enable (memampukan)
Memampukan berarti menyediakan alat pengetahuan, perlengkapan, dan kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan. Pemimpin harus mengembangkan nilai-nilai yang memampukan orang untuk bertanggung jawab terhadap perkembangan dan masa depan mereka sendiri asalkan tujuan dan sasaran bisnis tercapai. Nilai-nilai ini menjadi satu-satunya metode yang dapat membantu menyeimbangkan kebutuhan organisasi dan kebutuhan individu.
c. Empower (memberdayakan)
Pemberdayaan sama halnya dengan menciptakan karya seni baru dalam sebuah bingkai dengan bahan-bahan yang terbatas. Ini adalah kreativitas dalam keterbatasan. Orang diberdayakan dengan mengizinkan mereka untuk bertindak dan sekaligus meminta mereka untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Satu kemampuan yang ditambahkan oleh pengarang buku ini adalah Encourage (mendorong). Dalam hal ini, pengarang mengandaikan bahwa seorang eksekutif yang mendorong inovasi tidak bisa hanya memrintah lalu pergi begitu saja dan mengharapkan bahwa hasilnya akan menyenangkan. Seorang pemimpin yang memiliki inovasi berperan sangat aktif dan interaktif. Pemimpin semacam ini dengan kehadiran, keputusan, dan tindakannya membangkitkan kepercayaan, memberikan masukan untuk perbaikan, melatih calon pemimpin, dan mendorong tindakan lebih lanjut yang terus bergulir membetuk spiral risiko, perubahan, pertumbuhan, dan pemberdayaan. Dengan kata lain, seorang pemimpin terus ikut ambil bagian dalam apa yang telah ia bangun selama ini. Ia masih terus mendampingi sampai goal yang diharapkan itu dapat tercapai dan dapat berjalan seterusnya.
6. IMPLIKASI
A. Melahirkan Pengikut Yang Efektif dan Berani
Sebuah fakta yang harus diingat yaitu bahwa pemimpin bukanlah satu-satunya pemilik kekuatan dan pengaruh. Orang biasa pun bisa memiliki pengaruh yang besar terhadap pemimpin. Orang tentu akan bertanya darimana mereka memperoleh karisma seperti itu? Orang memiliki karisma seperti itu pertama-tama karena mereka itu juga terlahir sebagai manusia yang di dalamnya ia memiliki mimpi, pengetahuan, karier dalam hidup, keyakinan diri, pilihan, keputusan, relasi dan semacamnya.
Bagaimanapun juga, kita harus mengakui bahwa diantara semua bakat-bakat yang ada tetap ada di antara salah satu dari mereka yang akan menjadi pemimpin. Sedangkan yang lain mesti menerima kenyataan bahwa mereka belum memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin. Mereka mesti menerima sebuah kenyataan hidup sebagai pengikut. Sebagai pengikut bukan berarti absen dari kemampuan pribadi untuk menjadi pemimpin. Peluang untuk menjadi pemimpin terbuka untuk siapa pun. Maka, hal yang terbaik dalam sebuah organisasi adalah adanya sebuah terminologi regenerasi dan kaderisasi anggota untuk belajar menjadi pemimpin. Dengan cara semacam ini, niscahya organisasi yang dibangun atas kebersamaan itu akan lebih kokoh, kuat dan maju. Maka, tugas seorang pemimpin adalah mengelola para pengikutnya agar menjadi pengikut yang efektif dan berani.
Nyatanya, tidak semua pengikut itu dapat disebut pengikut yang efektif dan berani. Dari sekian banyak jenis pengikut, ada juga yang memiliki mental seperti: pengikut terasing, pengikut konformis, pengikut pragmatis, pengikut pasif, dan pengikut yang ideal. Pengikut terasing adalah pengikut yang suka menunjukkan sisi negatif kebijakan, prosedur, dan tujuan organisasi, bahkan mengabaikan sisi positif dari sebuah kebijakan, prosedur atau tujuan organisasi. Lainhalnya dengan pengikut konformis. Pengikut Konformis sebenarnya adalah pengikut aktif yang siap dan tanpa banyak kata menjalankan berbagai perintah. Mereka juga dapat disebut “yes people”. Mereka sangat sering tampak memiliki kecenderungan kepribadian untuk patuh, merendahkan diri, atau menolak konflik. Mental pengikut yang lain adalah mereka yang disebut sebagai pengikut pragmatis (survivor). Pengikut pragmatis adalah pengikut yang lebih memilih untuk bertahan di tengah-tengah takut mengambil resiko. Mereka nyaris tidak memiliki komitmen pada tujuan kelompok kerja, tetapi juga telah belajar untuk tidak membuat keributan. Yang lain lagi ada juga pengikut pasif. Pengikut pasif atau sering disebut sebagai “domba”.Mereka tidak mempunyai inisiatif dan rasa tanggung jawab, tergantung pada para pemimpin, selalu membutuhkan arahan terus menerus, dan tidak menyelesaikan tugas dengan antusias. Pengikut yang model ini lebih cenderung pada sikap malas dan loyo. Untuk meningkatkan efektivitas mereka, para pengikut yang pasig harus benar-benar berubah dengan memperhatikan kedua dimensi kemampuan sebagai pengikut yang efektif. Pengikut yang ideal adalah pengikut yang efektif. Pengikut yang model seperti inilah yang patut untuk dicontoh. Yang dimaksud dengan pengikut yang efektif adalah pengikut yang kreatif dan inovatif. Mereka memiliki ciri-ciri: dapat mengatur diri mereka sendiri, memiliki komitmen terhadap organisasi serta pada tujuan misi, dapat membangun kompetensi dan terfokus pada hasil yang maksimal, berani, jujur, dan dapat dipercaya.
Istilah “pengikut” bukanlah istilah yang menunjukkan kelemahan, melainkan syarat yang memungkinkan kepemimpinan ada dan memberinya kekuatan. Dari beberapa mental dari pengikut, ciri pengikut yang efektif dan berani sama persis dengan ciri-ciri yang ditemukan pada diri seorang pemimpin yang efektif. Dalam arti lain, pengikut yang bermental ideal menjadi gambaran bahwa ia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pemimpin yang efektif. Hal yang membedakan antara pemimpin dan pengikut bukan terletak pada kecerdasan atau karakter, melainkan tangung jawabnya. Pengikut yang bertanggung jawab, tentunya akan sanggup menjadi pemimpin yang bertanggung jawab.
B. Menciptakan Kepemimpinan yang Memberdayakan dan Sumber Daya Manusia yang Berdaya
Seorang pemimpin tidak hanya fokus dengan tugas dan profesinya sendiri. Seorang pemimpin harus pandai membaca realitas di luar dirinya. Ia harus tahu dan sadar bahwa di luar dirinya ada manusia yang sangat membutuhkan pembinaan, bimbingan, ajaran dan tuntunannya. Kehadiran mereka juga tidak semata-mata sebagai orang yang mengemis dan menaruh belaskasihan sehingga mereka layak dikasihani. Namun, kesadaran dari sang pemimpinlah yang pandai melihat situasi mereka. Tentu ada sekian banyak alasan mereka menjadi demikian. Kendati diantara sekian banyak alasan itu, kehadiran dan figur seorang pemimpin yang memberdaya akan menjadi pemacu dan pemicu dalam sebuah organisasi.
Kriteria figur pemimpin yang mampu memberdayakan manusia itu adalah pemimpin yang dengan sabar memberikan arah dan memperjelas target kerja. Memiliki daya persuasif untuk meyakinkan orang dalam berkerja. Seorang pemimpin juga mesti memfasilitasi dan menciptakan sebuah lingkungan kerja yang nyaman dan aman. Dengan perlahan-lahan ia memberikan kepercayaan kepada bawahannya untuk mengelola apa yang menjadi bagian lain dari sebuah organisasi demi sebuah kesuksesan. Dia hadir sebagai pendukung, bukan datang hanya untuk memerintah, membuka kesempatan belajar dan berlatih, berbagi visi tatapi tetap memungkinkan struktur, fokus pada pengembangan staf, mendengarkan, menjadi panutan, menjalin komunikasi yang baik, jujur dan tulus, memberikan tantangan, dan mengapresiasikan setiap prestasi bawahan dalam mendukung kerja organisasi.
7. PENUTUP
Sosok pemimpin selalu menjadi sorotan publik yang dipimpinnya. Hal itu tentu adalah suatu hal yang wajar. Aneka bentuk sorotan akan membuat seorang pemimpin mampu menyadari dirinya. Kesadaran diri menjadi satu elemen penting bagi seorang pemimpin untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Kesadaran diri memaksudkan pembentukan keterarahan diri akan kehendak, keberanian, dan kejujuran untuk meneliti dirinya sendiri demi kemajuan dan perkembangan organisasi maupun kelompok yang dipimpinnya. Akan tetapi sikap-sikap itu sering kali tidak muncul dari sosok pemimpin kita dewasa ini. Justru yang sering kali muncul adalah adanya sikap-sikap pembelaan diri atas kesalahan dan kelemahan serta menutupinya dengan sikap pencitraan diri agar tampak santun dan berwibawa. Oleh karena itu, aneka sorotan yang dilontarkan atas pemimpin tak jarang menjadi suara-suara yang berlalu begitu saja tanpa ada tanggapan positif dan perubahan konkrit yang dapat dilihat serta dirasakan oleh publik. Yang terjadi adalah seorang pemimpin tidak lagi mendengarkan publik yang dipimpinnya melainkan mendengarkan dan memuaskan dirinya sendiri. Inilah karakter pemimpin yang kerap dijumpai dewasa ini.
Dalam melihat realitas model pemimpin dewasa ini, muncul suatu harapan akan lahirnya sosok pemimpin ideal. Model pemimpin ideal itu sesungguhnya sudah ada, yakni dalam diri Yesus. Pemaparan tentang model kepemimpinan Yesus yang diulas dari buku Anthony D’Souza ini cukup mewakili model kepemimpinan ideal yang diharapkan tersebut. Seorang pemimpin diharapkan mampu memiliki kemampuan dan kualitas ennoble, enable dan empower. Hal ini juga sesuai dengan kebutuhan hidup menggereja, dimana kini, para religius maupun rohaniwan, dan terutama calon imam dipersiapkan untuk menjadi pemimpin sekaligus sebagai pelayan yang baik. Buku ini sangat bermanfaat dan membentuk para calon imam untuk menjadi pemimpin sesuai dengan harapan Gereja, dan umat. Selain bagi para religius, kaum awam pun juga dapat memanfaatkan buku ini sebagai pegangan untuk menjadi pemimpin bagi diri mereka sendiri sesuai dengan iman mereka.

Comments

Popular posts from this blog

Guru Palsu

Menutup Tahun 2022