Khotbah: Makna dan Praktek

Khotbah: Makna dan Praktek Cetak
Penulis: Pdt. Addi Soselia PatriabaraSetiap kali Firman Tuhan dikotbahkan, setiap kali pula hati kecil manusia menjadi bahagia, luas dan pasti di hadapan Allah, karena Firman itu penuh kasih karunia, pengampunan serta kata-kata yang baik dan bermanfaat – Martin Luther.
Renungan, Seputar Definisi
Topik yang diberikan kepada saya adalah: Membuat dan Menyampaikan Renungan secara Praktis. Tentang apa maksud renungan, kiranya telah dianggap jelas. Yaitu, sebuah uraian singkat terhadap teks Alkitab. Namun, apa yang disebut singkat? Secara waktu atau ayat? Apakah hal itu membuatnya dimengerti secara berbeda dengan khotbah?
Tradisi protestan tidak mengenal pembedaan antara khotbah panjang atau pendek. Semuanya disebut sebagai pemberitaan firman. Dalam hal ini tidak juga dibedakan siapa yang menyampaikan khotbah, ”awam” ataupun klerus. Dengan demikian, renungan adalah pemberitaan firman yang sama saja artinya dengan khotbah. 
Khotbah, Selayang Pandang
Catatan sejarah menyatakan bahwa praktik khotbah telah berlangsung sebelum hadirnya agama kristen. Setidaknya mulai muncul pada tradisi ibadah Yahudi. Itupun terjadi setelah berlangsung krisis identitas karena berbagai peristiwa pembuangan. Akibat tragedi pembuangan itu, sebagian besar generasi muda tak lagi mampu memahami teks-teks Ibrani dengan baik. Di sisi lain, para pemimpin pun tetap ingin mempertahankan penggunaan bahasa Ibrani sebagai tradisi luhur mereka. Kenyataan ini mendorong para pemimpin menerjemahkan dan menjelaskan teks-teks Suci yang mereka baca (kumpulan hasil penjelasan itu disebut Targum). Upaya ini melahirkan apa yang sekarang kita kenal sebagai khotbah. Di hal ini, khotbah dimengerti sebagai upaya menjelaskan makna teks kepada pendengarnya.
Kekristenan awal yang memang pertama-tama menerima tradisi Yahudi (termasuk Ibadah), turut melanjutkan tradisi penjelasan teks itu. Hanya, yang menjadi berbeda, penjelasan itu lebih ditujukan kepada katekumen (peserta katekisasi yang mau menjadi kristen). Yaitu agar mereka semakin memahami Kitab Suci dengan baik sehingga imannya tidak mudah diombang-ambingkan. Di sini, khotbah dipahami perannya lebih sentral, yaitu sebagai media pembinaan jemaat.
Perkembangan besar terhadap praktik khotbah terjadi ketika Injil mulai diberitakan di kalangan orang-orang Yunani. Dalam dunia Yunani-Romawi, retorika (ilmu pidato) telah berkembang dengan pesat. Nama Aristoteles dan Cicero serta banyak lagi yang lain, dikenal sebagai orator-orator ulung. Perjumpaan dengan prinsip-prinsip retorika ini turut mempengaruhi bentuk khotbah gereja. Khotbah kemudian dipahami tak hanya sebagai media pembinaan, tetapi juga media solusi atas sebuah persoalan dan juga perdebatan umum. Dengan demikian,unsur keindahan kata-kata menjadi sangat penting. Dalam era ini, muncullah berbagai pengkhotbah besar yang sukar tertandingi kemampuannya. Misalnya Yohanes Chrysostomus, yang namanya berarti Yohanes si mulut emas. Terhadap kemampuannya berkhotbah, orang kemudian mencatat:  
“Akibat gaya berkhotbah dan isi khotbahnya, banyak orang yang tertarik pada gereja, baik yang bukan-Kristen maupun yang telah meninggalkan pengajaran resmi dari gereja. Khalayak ramai lebih gemar menghadiri kebaktian di gereja tempat Chrysostomus berkhotbah ketimbang menonton atraksi di stadion.”  
Kesaksian yang lain berkata:
“Adalah lebih baik Konstantin lenyap, daripada Yohanes Chrysostomus berhenti berkhotbah."
Di jaman Luther dan Calvin, khotbah juga dimanfaatkan secara maksimal sebagai media penyampaian ajaran-ajaran reformasi. Luther sendiri menyampaikan sampai 10.000 ribu khotbah yang hampir secara keseluruhan memuat pemikiran-pemikiran reformasinya. Bahkan dapat dikatakan seluruh tahapan hidup dan karya Luther tercermin pada khotbah-khotbahnya. Demikian juga Calvin, sehingga sejumlah orang menyimpulkan bahwa khotbah menjadi salah satu alat Calvin membangun jemaatnya. 
Makna Khotbah
Lalu bagaimana dengan praktik khotbah saat ini? Apa arti dan fungsi khotbah saat ini? Dua orang teolog Indonesia perlu kita simak jawabannya. Pertama, Martasudjita, teolog katholik yang menekuni liturgi. Ia mengatakan bahwa kotbah dapat dan harus mengubah hidup seseorang. Sebab kotbah memiliki kekuatan yang datang dari Tuhan. Lebih lanjut dituturkannya bahwa: “Sabda Allah yang keluar dari mulut Allah adalah sabda yang berdaya guna, yakni sabda yang tidak pernah kosong belaka. Sabda Allah itu memiliki daya dan kekuatan dinamis yang sanggup mengubah dan menghasilkan sesuatu.” Kedua, Eka Darmaputera, yang tersohor antara lain dengan khotbah-khotbahnya. Ia menyatakan “khotbah yang baik adalah kotbah yang jelas serta merangsang (mendorong) orang untuk mengambil keputusan secara sadar, bebas dan tepat.”
Dua orang tersebut menyatakan bahwa khotbah memiliki kekuatan yang mengubah pendengarnya. Dengan demikian, khotbah bukanlah sebuah upaya meneruskan tradisi belaka!
Di gereja kita, sesuai dengan buku pengajaran “Tumbuh Dalam Kristus”, khotbah dipahami sebagai bagian dari liturgi. Lebih jelasnya Tumbuh Dalam Kristus menyatakan:
Kebaktian adalah pertemuan yang istimewa antara Allah dan kita ...
Pertemuan antara Allah dan kita itu diwujudkan di dalam urutan-urutan liturgi kebaktian. Di mana Allah dan kita kedua-duanya mengambil bagian.
Misalnya di dalam pendahuluan kebaktian pemimpin kebaktian atas nama Allah menyampaikan salam berkat kepada kita, lalu kita jawab dengan amin. Kemudian kita mengakui dosa kita di hadapan Tuhan dan pemimpin kebaktian atas nama Allah menyampaikan berita pengampunan kepada kita. lalu Allah memberitakan kehendaknya melalui petunjuk-petunjuk hidup baru, dan kita menyatakan kesanggupan kita untuk melaksanakannya.
Allah berbicara kepada kita melalui firmanNya yang diberitakan di dalam khotbah, dan kita menjawab dengan pengakuan iman kita, doa kita, dan persembahan kita, dst.
Dari pemahaman di atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa khotbah adalah tempat di mana Tuhan sendiri berkata-kata memberikan nasihat atau petuah. Sehingga khotbah memang menjadi sentral dan sakral bagi GKI. Pemahaman semacam menakutkan bagi pengkhotbah “awam.”
Yang sering sekali dilupakan orang adalah inti ibadah itu, yang seharusnya juga menjadi inti khotbah. Ibadah adalah sebuah pertemuan. Jika lagu-lagu dan bagian ibadah lain dibuat seolah-olah menjadi dialog, demikian juga seharusnya dalam kita melihat khotbah. Khotbah adalah juga dialog antara Tuhan dan manusia dengan segala realitas kehidupannya. Khotbah, bukanlah sebuah media langsung dari Allah, tanpa sentuhan unsur manusia di dalamnya. Tisdale, seorang pakar homiletika, justru mengatakan bahwa salah satu ciri khotbah adalah berorientasi pada pendengar (hearer-oriented). Dalam gambaran orat-oret kasar, khotbah yang sedemikian menjadi:
Pemahaman Praktis Khotbah Sebagai Dialog
Khotbah adalah sebuah dialog antar tiga unsur, pengkhotbah (dengan segala kemampuannya), Alkitab dan jemaat. Pengkhotbah, yang tahu siapa dirinya, menyampaikan khotbah sesuai dengan apa yang dimilikinya. Alkitab adalah sumber atau dasar penyampaian khotbah dan jemaat sebagai obyek sekaligus subyek khotbah.
Dengan demikian, untuk memulai peran menjadi seorang pengkhotbah, galilah potensi diri kita. Di sekitar kita telah banyak cara untuk menggali potensi diri. Upaya menggali diri amat penting. Sebab seringkali seorang pengkhotbah berupaya mengikuti potret orang lain. Sebuah contoh sederhana, kalau seorang tidak pandai melawak, jangan bercerita lucu! Atau, kalau sang pengkhotbah tidak bisa menghindari rokok, misalnya, jangan berkhotbah tentang rokok sebagai sumber dosa.
Lalu, Alkitab sebagai sumber atau dasar penyampaian khotbah perlu digali dengan cermat. Di sini buku-buku penafsiaran dapat membantu kita.
Hal yang kerap dilupakan adalah jemaat. Mereka sumber penting bagi penyampaian sebuah khotbah. Mereka tidak hanya menjadi obyek, tetapi adalah juga subyek khotbah. Sebagai contoh, seorang yang mau melayani khotbah penghiburan seharusnya bertanya terlebih dahulu hal-hal seputar almarhum/ah. Hasilnya bukan sekedar khotbah umum tentang Yesus sebagai kebangkitan dan hidup, tetapi menyentuh dan menghibur keluarga yang ditinggalkan.
Ketika jemaat menjadi subyek, mereka juga terlibat dalam pelaksanaan khotbah. Khotbah, dengan demikian, bukanlah sekedar tugas pengkhotbah atau bahkan pendeta saja. Persoalannya bagaimana cara melibatkannya? Misalnya, membentuk kelompok jemaat yang berupaya menggali kebutuhan-kebutuhan jemaat.
Ketrampilan-ketrampilan dalam menyampaikan Khotbah
Khotbah adalah pemanfaatan kata-kata. Justru karena itu dibutuhkan keterampilan merangkai kata-kata. Bagi seorang yang baru belajar (bahkan yang sudah berpengalaman) menuliskan khotbah secara lengkap dapat menjadi pilihan.
Di dalamnya sebuah khotbah terdapat 3 (tiga) unsur dasar yang menjadi garis besar. Yaitu pembukaan, isi dan penutup. Ketiganya adalah satu kesatuan yang utuh dan saling menunjang. Dengan membuat garis besar semacam itu, khotbah menjadi sistematis dan mudah dimengerti, baik oleh si pengkhotbah maupun pendengarnya.
Pembukaan, sering menjadi ice breaking. Ia menjadi jalan masuk bagi inti berita. Justru karena itu, pembukaan biasanya singkat, bernas dan kadang-kadang mencengangkan. Sehingga dapat menarik perhatian pendengar.
Isi menjadi inti khotbah. Berisi kupasan teks Alkitab yang berkait erat dengan kebutuhan jemaat. Justru karena itu dibutuhkan kemampuan menafsir dengan benar, baik teks Alkitab maupun realitas kehidupan jemaat. Mengutip banyak teks tidak berarti sudah menjadi pengkhotbah besar. Dari upaya menggali teks secara utuh, sampaikan beberapa pokok saja (semakin sedikit, semakin baik).
Penutup, menjadi kesimpulan akhir. Karena khotbah bukanlah sebuah indoktrinasi, biarkan kesimpulan itu terbuka, sehingga pendengar bisa mengaplikasikannya secara personal dalam hidupnya.
Selain itu, karena selama ini amat jarang digunakan media lain dalam khotbah(sekalipun amat menarik), setidaknya diperlukan 4 (empat) keterampilan dasar dalam menyampaikan khotbah:
[1] Suara yang jelas dan menarik, tetapi tidak dibuat-buat.
[2] Kontak mata, yang membuat pendengar merasa disapa (justru karena teks khotbah perlu dihapalkan).
[3] Postur (sikap tubuh) yang baik dan enak dilihat.
[4] Gerak yang menarik perhatian atau setidaknya tidak mengganggu.
Berkhotbah, seringkali dianggap sebuah talenta. Yang datang dari Tuhan. Menurut saya, khotbah adalah sebuah upaya. Seorang pengkhotbah yang baik, bukanlah yang mampu memainkan kata-kata dengan baik. Tetapi yang terus menerus berupaya meningkatkan diri. Justru karena itu, latihan dan latihan adalah cara yang terbaik.
Sumber-sumber
Boehlke, Robert R., Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari Plato sampai IG. Loyola, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1991.
Darmaputera, Eka, “Kumpulan Bahan-bahan Pembinaan Seputar Khotbah”, tanpa tahun, tanpa penerbit.
Sinode GKI Jawa Tengah, Tumbuh dalam Kristus: Buku Katekisasi, Kantor Sinode GKI Jawa Tengah, cetakan VIII, 1995.
Tisdale, Leonora Tubbs, Preaching as Local Theology and Folk Art, Fortress Press, Minneapolis, 1997.
Wardlaw, Don M., “Preaching as the Interface of two Social Act: The Congregation as Corporate Agent in the Act of Preaching” dalam Arthur van Seters (ed), Preaching as a Social Act: Theology and Practice, Abingdon Press, Nashville, 1988.
Willimon, William H. dan Lischer, Richard (eds.), Concise Encyclopedia of Preaching, Westminster Jhon Knox Press, Kentucky, 1995. 
Addi Soselia Patriabara

Comments

Popular posts from this blog

Guru Palsu