Wanita dalam Kepemimpinan

-*- WANITA, DERAJAT, DAN KEPEMIMPINAN -*-

Allah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dia
juga memberikan keunikan tersendiri kepada setiap manusia
ciptaan-Nya. Meskipun demikian, di hadapan Allah manusia itu sama
berharganya, Dia mengasihi kita dan Dia juga mau setiap manusia,
laki-laki dan perempuan, melakukan pekerjaan dan rencana-Nya bagi
dunia ini. Namun tidak dapat dimungkiri, kerap terjadi diskriminasi
jenis kelamin yang dilakukan oleh manusia sendiri. Seperti halnya di
Indonesia. Dulu saat R.A. Kartini memulai perjuangannya untuk
membela emansipasi wanita, perempuan hanya diperlakukan sebagai
"konco wingking" (teman di belakang), yang memunyai hak lebih rendah
dari laki-laki, bahkan diperlakukan dengan tidak layak. Kini,
perjuangan R.A. Kartini membuahkan hasil. Perempuan tidak lagi
dipandang sebelah mata, bahkan Indonesia pernah dipimpin oleh
seorang presiden perempuan.

Perempuan sudah seharusnya memiliki harkat dan martabat yang sejajar
dengan laki-laki. Yesus pun sudah memberi contoh bagi kita. Selama
pelayanan-Nya, Yesus tidak hanya mempersiapkan dua belas murid
laki-laki saja, tetapi juga mempersiapkan para wanita untuk terlibat
dalam pelayanan, bahkan mengembangkan mereka sebagai pemimpin. Simak
selengkapnya di sajian edisi e-Leadership kali ini.

Semoga sajian bulan April ini memberikan pandangan secara Kristen
bagi para calon dan pemimpin mengenai wanita dalam dunia
kepemimpinan.

Selamat belajar dan memimpin!

Staf Redaksi e-Leadership,
Puji Arya Yanti

"Akan terjadi pada hari-hari terakhir--demikianlah firman
Allah--bahwa Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia;
maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat,
dan teruna-terunamu akan mendapat penglihatan-penglihatan,
dan orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi."
(Kisah Para Rasul 2:17)
< p="Kisah+2:17">

==================================**==================================

HANYA DENGAN MENGIKUTI KRISTUS,
KITA DAPAT MEMIMPIN ORANG LAIN KE ARAH YANG BENAR

==================================**==================================
ARTIKEL 1

-*- BAGAIMANA YESUS MENGEMBANGKAN WANITA SEBAGAI PEMIMPIN? -*-

Pada era Perjanjian Baru, metode pemuridan yang intensional dikenal
secara luas sebagai metode mengajar, dan Yesus menggunakannya untuk
melatih para pemimpin masa depan gereja-Nya. Dalam dunia literatur
kepemimpinan Kristen yang terus berkembang, cara Yesus mengembangkan
pemimpin sering digunakan juga sebagai model untuk mengembangkan
pemimpin masa kini. Contohnya, berdasarkan Markus 3:13-19, Yesus
memilih dua belas murid, menunjuk mereka untuk menjadi pengikut-Nya,
dan mengutus mereka (memilih, mengajar, memercayakan). Model lain
didasarkan pada Lukas 5:1-11, di mana Anda dapat melihat Yesus
memilih dua belas orang dan melatih mereka menjadi pemimpin di masa
depan.

Lalu bagaimana dengan wanita? Jika pada era gereja mula-mula kita
melihat wanita muncul dalam kepemimpinan bersama para pria, apakah
mungkin untuk melihat bagaimana para wanita juga dipilih, dilatih,
dan diutus mengemban tugas kepemimpinan? Saya yakin iya. Dalam
Injil, kita dapat melihat bagaimana Yesus, sambil memilih dua belas
orang sebagai murid, juga mulai mengembangkan wanita, mengubah
tradisi pola pikir, dan mulai memulihkan rekanan antara pria dan
wanita dalam gereja dan dunia yang rusak sejak jatuhnya manusia
dalam dosa.

DUA BELAS MURID DAN PARA WANITA

Yesus memilih dua belas pria sebagai murid-Nya. Hal ini terkadang
digunakan sebagai alasan mengapa wanita seharusnya tidak turut andil
dalam pelayanan dan kepemimpinan. Jelas kedua belas murid itu
menduduki posisi yang spesial, namun di antara mereka yang dekat
dengan Yesus, ada juga sejumlah pengikut wanita, dan Yesus
mengembangkan mereka sebagai pemimpin. Fakta bahwa wanita adalah
murni pengikut, dalam budaya di mana ada sedikit wanita yang melek
huruf dan memiliki pendidikan formal, bertentangan dengan kehidupan
masa kini. Dengan mengumpulkan temuan-temuan terbaru dalam ilmu
pengetahuan Injil, adalah mungkin untuk mengatakan bahwa Yesus tidak
hanya mendorong wanita untuk mengikut-Nya, tapi juga untuk memimpin
orang lain. Lukas 8:1-3 adalah ayat kuncinya. Di sana, kita dapat
melihat sejumlah wanita menemani Yesus, bersama dengan kedua belas
murid (yang disebutkan dalam Lukas 6:12-19). Menurut Richard
Bauckham, dalam Gospel Women, ayat 1-3 adalah pernyataan ringkas
yang mengindikasikan bahwa peristiwa itu terjadi berulang kali dalam
periode waktu yang tak menentu. Dengan kata lain, meski ayat itu
adalah referensi kecil, ayat itu mengindikasikan bahwa wanita
berjalan bersama Yesus secara rutin.

Bauckham juga menantang terjemahan NRSV, dan mengatakan bahwa teks
Yunani dengan jelas mengatakan bahwa Yesus "bersama" dengan kedua
belas murid dan para wanita: "Kedua belas murid bersama-Nya, juga
para wanita ...." Di sini Yesus mengategorikan murid-murid-Nya
menjadi dua kategori besar, dua belas pria dan wanita. Fakta bahwa
wanita ada untuk membantu Yesus bukanlah intinya, inti pentingnya
ialah bahwa para wanita itu bersama Yesus. Itulah makna pemuridan,
dan baik pria maupun wanita sepertinya sederajat; tinggal menunggu
waktu saja sampai Yesus mendelegasikan pelayanan-Nya kepada semua
murid-Nya.

Bauckham juga menegaskan bahwa wanita tidak ditugasi dengan hal-hal
yang biasanya wanita lakukan dalam rumah tangga. Dalam teks Yunani
dikatakan bahwa tidak ada pria yang membantu pelayanan Yesus dalam
bentuk materi, hanya murid yang wanita saja yang memberikan bentuk
bantuan tersebut kepada Yesus dan murid-muridnya. Dua belas murid
pria sama-sama telah mengorbankan dan meninggalkan rumah dan
keluarga mereka untuk mengikut Yesus (Lukas 5:11). Untuk seorang
wanita terhormat seperti Yohana, mengikut Yesus juga merupakan
pengorbanan besar. Bergabung dengan suatu kelompok seperti Yesus dan
murid-murid-Nya yang bisa dikatakan bukan kelompok elit pada saat
itu, pasti menjadi sebuah skandal besar.

Hampir semua Injil menuliskan wanita-wanita yang menemani Yesus
dalam perjalanan pelayanan-Nya (Matius 27:55-56; Markus 15:40-41;
Lukas 23:49). Para wanita ada di kubur Yesus (Lukas 23:49) dan
menyaksikan kebangkitan (Lukas 24:1-11). Dalam Injil Yohanes, wanita
digambarkan sebagai sosok yang patut diteladani dengan Maria
Magdalena sebagai contoh utamanya.

Jadi, para intelektual menyimpulkan bahwa perbedaan antara kelompok
pengikut Yesus yang pria dan wanita tidak sebesar anggapan selama
ini. Para wanita "bersama"-Nya di sepanjang pelayanan-Nya,
mengamati-Nya, dan siap sedia untuk meneruskan pelayanan-Nya setelah
kebangkitan-Nya.

PARA WANITA DI KAKI YESUS

Yesus menyambut banyak wanita berbeda sebagai pengikutnya: Maria
dari Betania, wanita di sumur, wanita Kanaan, dan lainnya yang tidak
disebutkan. Maria duduk dekat kaki Yesus, yang menurut Tom Wright
adalah sikap wajar seseorang yang merupakan seorang murid dan akan
menjadi seorang pengajar. Dan Yesus menegur saudarinya, Martha,
karena menyibukkan diri dengan hal-hal yang dianggap harus dilakukan
oleh seorang wanita (Lukas 10:41-42). Meski perbedaan perilaku
antara Maria dan Martha terkadang digunakan untuk mengekplorasi gaya
hidup yang aktif dan reflektif, apa yang dilakukan Maria adalah
contoh yang jarang sekali terjadi -- apa yang dilakukannya
berkebalikan dengan harapan tentang seperti apa dan apa yang harus
dilakukan oleh seorang wanita.

Tulisan Yohanes mengenai kematian Lazarus (Yohanes 11:17-44) juga
perlu diperhatikan. Inti dari kisah tersebut bukanlah Lazarus, namun
percakapan antara Yesus dengan Maria dan Martha, terutama Martha.
Pengakuan imannya mengungkapkan bahwa ia telah sungguh-sungguh
belajar, dan ia membuat suatu deklarasi yang paling jelas akan
imannya terhadap Injil. Maria juga menunjukkan keterusterangan dan
iman yang sama.

Dalam Yohanes 12:1-8, kita melihat bagaimana Maria mengurapi kaki
Yesus -- menariknya, peristiwa itu mengawali pembasuhan kaki
murid-murid oleh Yesus di pasal yang ke-13. Interrelasi antara dua
pasal tersebut menunjukkan bagaimana Maria memberikan teladan
pelayanan dan pemuridan, dan partisipasi dalam penderitaan dan
kematian Yesus.

RASUL KEPADA PARA RASUL

Akhirnya, penampakan Yesus dan penugasan Maria Magdalena setelah
kebangkitan-Nya, adalah hal yang paling menarik. Dalam pemikiran
populer, nama Maria mendapat citra buruk karena adanya Maria-Maria
yang lain dan asumsi yang tidak benar bahwa ia adalah seorang
pelacur. Dari semua wanita yang mengenal Yesus, hanya Maria,
ibu-Nya, yang disebutkan lebih sering daripada Maria Magdalena.
Empat penulis Injil menganggapnya sebagai pengikut Yesus yang paling
setia, dan ia muncul dalam sembilan daftar yang berbeda yang
kesemuanya berisi nama-nama perempuan -- cuma satu daftar yang tidak
menempatkan namanya pada urutan paling atas. Di antara pengikut
Yesus, nama Maria paling sering muncul di Alkitab daripada nama
kedua belas murid.

Ketika Maria mengetahui bahwa Yesus telah bangkit, ia berteriak,
"Rabuni", yang diartikan Yohanes sebagai "guru" (Yohanes 20:16). Hal
itu, dan fakta bahwa ia adalah salah satu wanita yang bepergian ke
mana-mana dengan Yesus dan belajar dari-Nya, mengisyaratkan bahwa
ia adalah benar-benar murid Yesus, belajar dari-Nya untuk bekal saat
ia menjadi pengajar dan pemimpin.

Untuk murid-murid yang pertama, menjadi pengikut Yesus adalah lebih
daripada menjadi pengikut guru-guru lainnya. Masa depan iman Kristen
tergantung pada murid-murid Guru Yesus dan bagaimana mereka berhasil
memberikan apa yang mereka dapat dari-Nya, dengan mengajarkan apa
yang Ia ajarkan pada mereka dan dengan saling mengasihi seperti Ia
mengasihi mereka. Tampaknya wanita termasuk di dalamnya.

Inti ceritanya ada di taman, di mana Yesus memandati Maria dengan
tugas untuk memberitakan kabar sukacita kebangkitan pada
saudara-saudaranya, sebelas rasul. Tidak heran jika ia disebut
"rasul kepada rasul-rasul", dan jika kualifikasi sebagai rasul
adalah bersama Yesus dan menyaksikan kebangkitan, maka dia (dan
wanita lain) bisa dikatakan rasul, meskipun posisi mereka tidak
secara formal diklaim sebagai pengganti Yudas (Kisah Para Rasul
2:21-22).

Seperti dikatakan Carolyn Custis James, secara budaya, sah-sah saja
untuk para rasul membatasi wanita pengikut Yesus setelah Yesus
kembali kepada Bapa-Nya. Tapi tidak demikian bagi Yesus. Ia telah
mengangkat wanita dengan melibatkan mereka sebagai murid dan pada
saat kebangkitan-Nya, Ia menegaskan pelayanan mereka sebagai pembawa
pesan. Para penulis Injil tergantung pada kesaksian wanita seperti
Maria ibu Yesus dan Maria Magdalena untuk menuliskan kehidupan,
kematian, dan kebangkitan Yesus. Maria ibu-Nya, dan "beberapa
wanita" yang ada di sana setelah kebangkitan, bertekun berdoa dan
menunggu masa depan yang terbentang (Kisah Para Rasul 1:14).

Dari contoh di atas, kita dapat melihat bahwa Yesus membuka jalan
baru, sikap baru terhadap wanita, melihat apa peran mereka bagi
Allah, bukannya peran yang didikte oleh masyarakat. Saat Ia
mempersiapkan dua belas murid pria, Ia juga memersiapkan para wanita
yang memilih untuk mengikut Dia di sepanjang pelayanan-Nya. Dan saat
roh Kudus tercurah pada Pentakosta, umat Allah yang baru terbentuk,
dan wanita, seperti halnya pria, diberi wewenang. Pada gereja-gereja
pertama, pembedaan ras, kelas, dan jenis kelamin dihapuskan;
kualifikasi pelayanan tergantung (dengan beberapa kelonggaran
budaya) tidak lagi pada jenis kelamin dan status sosial, tapi pada
anugerah, dan para wanita yang telah "bersama" Yesus itu mampu
melayani, sampai dibuatnya batasan-batasan untuk wanita melayani
bersama-sama pria. (t/Dian)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : cpas
Judul asli artikel: How Did Jesus Develop Women As Leaders?
Penulis : Rosie Ward
Alamat URL : http://www.cpas.org.uk/womeninleadership/resources/index.php?category=82

==================================**==================================
ARTIKEL 2

-*- WANITA DAN KEPEMIMPINAN -*-

Menurut Hennig dan Jardim dalam buku "The Managerial Woman",
kebanyakan wanita melihat dirinya sebagai seseorang yang ragu,
bimbang, bingung akan tujuan-tujuan mereka dalam hidup, dan menunggu
dipilih atau disadari keberadaannya oleh pria. Mereka tidak suka
mengambil risiko dan mereka menjadi gelisah dalam situasi di mana
mereka tidak mengetahui banyak hal. Jika demikian, bagaimana bisa
wanita menjadi pemimpin? Sifat-sifat seperti itu bertentangan dengan
sifat yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin -- seseorang
yang bertanggung jawab, menetapkan tujuan, mengambil risiko, dan
membuat keputusan. Oleh karena itu, wanita dapat menjadi pemimpin
mungkin karena mereka dididik dengan cara yang berbeda atau mereka
mengenali potensi kepemimpinan yang ada dan telah belajar untuk
memimpin. Para peneliti menemui bahwa para wanita yang suka memimpin
tidak menganggap diri mereka sebagai wanita dan berbeda; mereka
melihat diri mereka sebagai manusia. Pola pikir mereka, begitu juga
kemampuan mereka, memampukan mereka menjadi pemimpin. Mereka
berorientasi untuk bersaing dan menyelesaikan tugas.

Mereka tidak hanya belajar untuk melatih kekuatan pribadi mereka,
mereka juga sudah sanggup mengesampingkan emosi mereka di situasi
yang membutuhkan penilaian yang jelas. Mereka bukannya tidak
emosional, tapi mereka telah belajar memahami diri dan mengendalikan
perasaan mereka. Seorang wanita yang berprofesi sebagai pemimpin
organisasi pendidikan menceritakan pengalamannya mengendalikan emosi
dan rasa empati. "Saya rasa Anda harus tangguh secara fisik, juga
secara psikologis dan emosional sehingga apa pun yang terjadi tidak
membuat Anda lemah. Sulit untuk tetap sensitif terhadap sesuatu yang
sangat penting bagi orang lain saat apa pun yang Anda lakukan
sepertinya menyepelekan apa yang mereka anggap penting. Saya harus
belajar bagaimana berinteraksi dengan orang lain, menempatkan diri
dalam posisi mereka."

Menjadi kompeten bukan berarti menjadi wanita Kristen yang memimpin
tanpa memedulikan orang lain. Mereka dapat memecat seseorang
sekaligus menunjukkan rasa prihatin. Seorang pemimpin wanita
mengatakan betapa sulitnya untuk memecat seorang karyawan.
"Pemecatan dapat mengubah kehidupan seseorang dengan begitu drastis.
Jika secara emosional mereka tidak siap, pemecatan bisa sangat
melukai hati mereka. Saya pernah memecat seseorang, namun itu saya
lakukan setelah saya berbicara dengan mereka dan menjelaskan kepada
mereka alasan mengapa mereka dipecat. Terkadang memecat seseorang
bisa sangat mendorong Anda ke depan; pemecatan bisa menjadi suatu
batu loncatan."

Memiliki kualifikasi sebagai pemimpin tidak akan ada manfaatnya bagi
wanita jika ia tidak dapat menembus posisi yang lebih tinggi dalam
struktur organisasi di mana ia bekerja. Hanya ada sedikit wanita
yang menduduki posisi teratas atau kedua teratas dalam industri dan
pemerintahan. Di bawah posisi teratas terdapat beberapa tingkatan
manajer yang diduduki oleh sedikit wanita. Hal itu karena para
wanita yang menduduki posisi atas telah terbukti kemampuannya --
wanita-wanita yang telah diperhitungkan karena mereka kompeten.

Dunia organisasi pria dikarakterisasi oleh perangkat hubungan --
jaringan -- informal di mana komunikasi penting terjadi di luar
kantor. Seseorang yang berpotensi menjadi pemimpin memelajari apa
yang mereka harapkan, apa yang terjadi di luar kantor, dan siapa
"sponsor" mereka melalui jaringan itu. Kata "sponsor" atau "mentor"
merujuk pada seorang senior yang tertarik kepada junior, mengenali
potensi mereka, memberitahu seluk-beluk organisasi, dan membawa
mereka kepada posisi yang lebih diperhitungkan. Sangat sulit bagi
wanita untuk menembus jajaran atas di organisasi; kompetensi saja
tidak cukup untuk mereka mendapatkan promosi.

Wanita Kristen dapat bergantung kepada peluang yang diberikan Tuhan
untuk menempati posisi kepemimpinan, tapi jujur, mereka juga perlu
memiliki keahlian politik. "Seseorang yang ingin bekerja dalam
bidang kepemimpinan harus mengenali sifat politisnya." Terus terang,
hal seperti itu sangat tidak Kristiani -- mencari tahu siapa yang
punya posisi dalam perusahaan, menilai apakah seseorang mampu
membantunya mencapai tujuan, membuat agar pimpinannya memerhatikan
prestasi dan kualifikasinya. Orang Kristen diharuskan untuk
melakukan pekerjaannya dengan baik, namun seperti yang lain, harus
mendapatkan perhatian; dan mereka harus mencari sponsor agar mereka
dapat menjadi pemimpin.

Kecerdasan politik sering kali datang melalui pengalaman pahit.
Seorang wanita muda menjadi kandidat kuat untuk menempati posisi
direktur program khusus dalam organisasinya. Namun setelah ia
kembali dari sebuah liburan, ia menemui bahwa posisi itu telah
ditempati oleh orang lain. Saingannya, wanita muda yang berkompeten
lainnya telah menempati posisi itu karena dua alasan: ia mengerjakan
apa yang seharusnya dikerjakan wanita yang berlibur tersebut dan ia
didukung oleh seorang senior pria dengan pengalaman manajerial yang
panjang. Wanita yang kehilangan kesempatan itu tidak memiliki
sponsor atau pendukung. Namun, ia belajar dari pengalaman. Dengan
sabar ia menunggu selama dua tiga tahun dan menapaki semua langkah
yang "benar" dalam tangga karier di perusahaannya. Ia mendapat
banyak pengalaman, diperhatikan, dan mendapatkan reputasi bahwa ia
kompeten. Kepala departemen akhirnya memberi apa yang ia perlukan.
Ia menemukan sponsor -- lagi-lagi seorang pria karena tidak ada
wanita dalam posisi tengah manajerial di tempat ia bekerja.
Sponsornya mulai melatihnya menjadi kepala departemen.

Dalam gaya dan kepribadian, pemimpin wanita berbeda dengan pria,
namun anggapan bahwa wanita suka meraja, yang didasarkan pada
pandangan masyarakat, masih menjadi sesuatu yang umum. Orang-orang
berpikir bahwa pemimpin wanita sering kali iri hati, emosional,
picik, perfeksionis, suka mencari kesalahan, dan sangat mementingkan
detail. Ternyata itu bukanlah karakteristik wanita,
karakter-karakter itu muncul saat mereka tak berdaya,
karakter-karakter itu adalah mekanisme pertahanan. Wanita yang
benar-benar bebas menjadi diri sendiri dan merasa nyaman dalam
posisi kepemimpinan, bebas untuk mengizinkan orang lain mendapatkan
lebih banyak kebebasan. Mereka tidak menunjukkan sikap suka meraja
seperti yang masyarakat umum pikirkan. Malahan, mereka sanggup
berpikir mengenai tujuan jangka panjang dan mengembangkan gaya
kepemimpinan yang kreatif dan khas.

Ada dua hal yang mengarakterisasi pemimpin Kristen dalam
melaksanakan tugasnya, yaitu keterbukaan dan mau melayani. Memimpin
adalah masalah mengeluarkan yang terbaik dari orang-orang yang
dipimpin dan menyesuaikannya dengan pekerjaan yang cocok. Untuk
melakukannya, dibutuhkan tidak hanya kemampuan untuk memanfaatkan
sumber yang ada untuk mencapai sasaran, tapi juga kapasitas untuk
mengembangkan kepercayaan. Tujuan organisasi tidak bisa hanya
diketahui oleh pemimpin; tujuan itu harus disosialisasikan kepada
semua orang dalam organisasi. "Saya merasa lebih puas saat saya
berhasil meyakinkan seseorang dengan kekuatan gagasan saya," kata
seorang wanita, "daripada mengatakan `Anda jelas akan melakukan apa
yang saya gagaskan karena saya memiliki otoritas untuk menyuruh Anda
melakukannya.` Saya mencoba mendorong seseorang untuk melakukan
sesuatu. Melibatkan mereka. Menggerakkan mereka. Membawa mereka
keluar dari jalur kalau perlu. Saya ingin memimpin mereka, dan
bukannya memaksakan kehendak saya sendiri."

Pemimpin yang memandang dirinya sendiri sebagai pelayan, menghindari
jebakan pemenuhan diri akan kuasa, harga diri, dan gaji yang turut
ada dalam sebuah kepemimpinan sekuler. Yesus adalah teladan pemimpin
yang memiliki otoritas sekaligus hati yang melayani. Ia menggunakan
otoritasnya untuk menguatkan orang-orang yang dipimpinnya. "Kemudian
tibalah Yesus dan murid-murid-Nya di Kapernaum. Ketika Yesus sudah
di rumah, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya: "Apa yang kamu
perbincangkan tadi di tengah jalan?" Tetapi mereka diam, sebab di
tengah jalan tadi mereka mempertengkarkan siapa yang terbesar di
antara mereka. Lalu Yesus duduk dan memanggil kedua belas murid itu.
Kata-Nya kepada mereka: "Jika seseorang ingin menjadi yang
terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan
pelayan dari semuanya." (Markus 9:33-35) Para pemimpin wanita dapat
memanfaatkan sensitivitasnya terhadap hubungan pribadi untuk
mewujudkan sikap melayani itu saat mereka bertindak sebagai
fasilitator dan pendorong. Saat pemimpin wanita melakukan hal itu,
tujuan konkrit dalam hal sasaran organisasi dapat tercapai, dan yang
terpenting, mereka menyentuh kehidupan banyak orang. "Kepuasan dalam
memimpin adalah melihat bahwa Anda mampu membantu orang lain untuk
melakukan sesuatu yang baik. Penghargaan itu urusan kedua. Anda akan
melihat yang lain melakukan lebih banyak hal daripada orang yang
Anda pimpin jika Anda tidak bersama orang yang Anda pimpin untuk
membantu dan mendorong mereka atau memfasilitasi atau menyatukan
mereka." (t/Dian)

Diterjemahkan dan diringkas dari:
Judul buku: Christian Women at Work
Judul bab : Working Within Organizations -- Leadership
Penulis : Patricia Ward dan Martha Stout
Penerbit : Zondervan Corporation, Michigan 1981
Halaman : 187 -- 192

==================================**==================================
INSPIRASI

-*- ROSALIE CAMPBELL -*-

Rosalie menyematkan kehangatan, kejujuran, dan motivasi dalam
pesan-pesannya yang inspirasional. Latar belakang kariernya sebagai
desainer membuatnya berbakat dalam berpidato. Ia menggunakan
gambar-gambar penuh warna untuk menantang dan memotivasi para
pendengarnya. Melalui luka dan tantangan yang timbul karena
perceraian orang tua dan juga dirinya sendiri, ia membentuk hatinya
untuk mereka yang berjuang dalam duka karena tinggal dalam keluarga
yang berantakan.

Rosalie mendirikan dan mengelola banyak organisasi bagi orang-orang
dewasa, remaja, dan anak-anak di gerejanya. Baru-baru ini, ia juga
menjadi pembicara pada seminar-seminar pelatihan kepemimpinan di
daerah California bagian Selatan.

Ia juga telah menulis sebuah buku penyelidikan Alkitab restorasi,
"Come Back to the Garden". Buku itu disusun sebagai panduan bagi
orang-orang yang terluka secara emosi saat mereka berusaha menjalin
hubungan yang lebih dekat dengan Tuhan menuju pemulihan diri.
Beberapa esai dan artikelnya telah diterbitkan dalam bentuk buku.

Pada 1997, Rosalie mendirikan "Garden Path Ministries" untuk
menyediakan sumber-sumber bahan, memperlengkapi para pemimpin, dan
memfasilitasi kelompok-kelompok kecil. Ia memimpin dan
mengoordinasi banyak sekolah Alkitab dan mengadakan bengkel kerja
bagi CMTA and BRASS (Christian Ministry Training Associations). Ia
sering menjadi pembicara dalam acara retreat, pertemuan makan siang,
dan rapat.

Kini, "Garden Path Ministries" sedang menjangkau narapidana wanita
dengan memberikan bahan-bahan pelajaran restorasi dan Alkitab kepada
mereka.

Rosalie memiliki ijazah dalam bidang Konseling Alkitabiah dari
American Association of Christian Counselors. Setelah mendapat gelar
dalam bidang desain fashion dan interior, Rosalie berkarier dalam
industri tersebut selama dua puluh tahun. Ia dan suaminya, Stan,
tinggal di Canyon Lake, California. Mereka memiliki keluarga besar
dengan delapan anak yang telah tumbuh dewasa dan banyak cucu mereka.
(t/Dian)

Diterjemahkan dan disesuaikan dari:
Nama situs : Garden Path Ministries
Judul asli artikel: Rosalie Campbell
Penulis : Tidak dicantumkan
Alamat URL : http://gardenpath.org/gp/director.php

Comments

Popular posts from this blog

Guru Palsu