MEMIMPIN DI TENGAH KONFLIK

*- MEMIMPIN DI TENGAH KONFLIK -*-
Diringkas oleh: Puji Arya Yanti

Ada yang unik dan berbeda dalam edisi tutup tahun majalah Time 2002.
Tahun-tahun sebelumnya mereka memilih satu orang untuk tampil di
halaman utama sebagai Person of the Year, tapi kali ini tiga orang
sekaligus. Semuanya wanita dan kisah mereka sarat dengan pelajaran
kepemimpinan tentang konflik.

Orang pertama, Coleen Rowley, staf pengacara FBI yang mengirim memo
sensasional kepada Direktur FBI. Dia menjelaskan bahwa biro
bergengsi itu tidak menggubris surat dari kantornya di Minneapolis
sebelum 11 September untuk menginvestigasi Zacarias Moussaoui, yang
akhirnya diseret ke meja hijau sebagai salah seorang konspirator
aksi teroris tersebut.

Orang kedua, Sherron Watkins, Wakil Presiden Enron, perusahaan
terbesar ke-7 di Amerika yang bergerak di bidang energi, yang
menulis surat ke Pemimpin Enron dan melaporkan penyelewengan metode
akuntansi perusahaan tersebut. Penyelewengan itu menutup-nutupi
utang perusahaan milyaran dolar dengan skenario kontrak kerja sama
yang mencurigakan, sementara eksekutif elit Enron meraup keuntungan
pribadi dengan stock option mereka.

Orang ketiga, Cynthia Cooper, Wakil Kepala Divisi Internal Audit
WorldCom, perusahaan multinasional terbesar ke-25 di Amerika. Ia
memberitahu dewan WorldCom tentang adanya upaya sistematis untuk
menutup-nutupi kerugian perusahan sebesar 3,8 triliun dolar Amerika
melalui taktik akuntansi yang kreatif. Akhirnya, CEO WorldCom yang
sebenarnya sangat dihormati di Amerika terbukti bersalah dan
dijatuhi hukuman penjara selama enam puluh lima tahun.

Ketiga wanita itu disebut "whistle-blowers", suatu ungkapan bagi
individu yang menyingkap suatu hal yang sensitif dan disembunyikan,
sebagaimana definisi kamus Merriam-Webster. Dan dari kisah mereka,
ada pelajaran kepemimpinan dalam menghadapi konflik yang terlalu
berharga untuk tidak dihiraukan.

Konflik Internal: Penjara Ketakutan

Sebenarnya Rowley, Watkins, dan Cooper takut dengan konsekuensi yang
akan diterima setelah aksi mereka, namum mereka akhirnya memilih
untuk menyuarakan kebenaran. Mereka memutuskan untuk mendengarkan
dan menaati hati nurani daripada dipenjara oleh ketakutan mereka
sendiri. Meskipun untuk itu mereka harus membayar harga yang mahal,
seperti mengorbankan pekerjaan, kesehatan, privasi, dan keseharian
hidup mereka.

Pertanyaan utama bagi kita, apakah kita akan berdiam diri saja atau
menyuarakan kebenaran dengan hikmat bijaksana? Seperti apa yang
ditulis Martin Luther King, Jr., "Our lives begin to end the day we
become silent about things that matter."

Anda akan berempati dengan dilema yang dihadapi Rowley, Watkins, dan
Cooper bila Anda pernah berada dalam posisi mereka. Sungguh tidak
mudah, karena kita dipaksa untuk berhadapan dengan diri kita
sendiri. Bukan dengan "diri" yang kita proyeksikan di umum, namun
"diri" apa adanya. Hal itulah yang membedakan pemimpin dengan
nonpemimpin: reaksi terhadap konflik internal dalam diri kita.
Reaksi terhadap ketakutan. Meskipun demikian, bukan berarti pemimpin
tidak boleh memiliki rasa takut. Ketiga pemimpin di atas juga
ketakutan. Namun bedanya di sini, pemimpin bergelut dengan rasa
takut tersebut dan memilih untuk tidak tunduk padanya.

Hal tersebut seharusnya juga berlaku khususnya bagi pemimpin Kristen
karena ia tahu hidupnya ada di tangan Tuhan yang telah mati dan
bangkit baginya. Dan karena Allah berdaulat mutlak, maka tidak akan
ada sehelai rambut yang akan lepas dari kepala kita tanpa
sepengetahuan dan seizin Allah. Dalam pledoi yang dibacakan Romo
Sandyawan di depan majelis hakim berkaitan dengan keberpihakan dan
perjuangannya membela para korban kasus Mei 1998 dan mencari
keadilan di tengah rezim pemerintahan yang begitu korup, ia
mengucapkan kalimat-kalimat berikut:

"... maka kalau memang semua (penderitaan) ini merupakan konsekuensi
perwujudan iman saya ... dan sekarang itu berarti secara nyata saya
akan dilemparkan ke balik jeruji penjara, menjadi bagian dari
tumpukan para korban, saya siaga dan ikhlas. Memang saya merasa
lemah, namun saya tak sudi tunduk mengabdi kepada ketakutan ...."

"Saya tak sudi tunduk mengabdi kepada ketakutan." Kiranya kalimat
kristalisasi iman ini menguatkan kita dalam melakukan tugas
kepemimpinan yang kita emban.

Konflik Eksternal: Intimidasi dan Pengkhianatan

Ketabahan dan ketegaran menghadapi konsekuensi dari aksi pribadi
mereka adalah pelajaran kedua dari Rowley, Watkins, dan Cooper.
Awalnya mereka mencoba mengangkat kejanggalan dan penyimpangan yang
terjadi dalam organisasi, mereka diminta membatalkan niat tersebut
oleh atasan, bahkan diperingatkan akan risikonya terhadap masa depan
karier mereka dan implikasinya terhadap keuangan mereka.

Kepemimpinan memang identik dengan konflik. Memilih menjadi pemimpin
sama juga memilih untuk mengakrabi konflik. Karena pemimpin pada
esensinya memobilisasi orang lain untuk berubah atau bergerak dari
"status quo" menuju ke suatu tujuan yang lebih ideal. Perubahan yang
nyata selalu mengundang konflik, baik konflik internal maupun
eksternal. Inilah sebabnya mengapa kepemimpinan identik dengan
konflik.

Itu sekaligus menjelaskan mengapa jalan seorang pemimpin adalah
jalan yang sepi. "Leadership path is a lonely one." Semakin besar
tanggung jawab seorang pemimpin, semakin sepi jalan yang harus ia
lalui. Dan ketika ia mengambilnya sebagai tanggung jawab pribadi,
tindakan menyuarakan kebenaran seperti ketiga wanita di atas, hampir
pasti memunculkan resistensi.

Watkins menceritakan bahwa banyak orang yang mulai menjauhi dan
meninggalkannya. Dia merasa dikhianati. Perasaan tersebut memang
menyakitkan. Seorang penyanyi Kristen, dalam lirik lagunya tentang
pengkhianatan Yudas menulis, "Only a friend can betray a friend.
Strangers have nothing to lose." Hanya seorang sahabat yang dapat
melakukan pengkhianatan. Semakin dekat persahabatan tersebut,
semakin tajam pisau pengkhianatan menusuk ulu hati.

Tatkala Anda berpikir sedang memerjuangkan suatu kebenaran dan patut
mendapat dukungan moral, namun malah dikhianati, Anda pasti
mengalami bagaimana pergumulan yang menghasilkan keberanian tersebut
seketika hilang. Anda pun kembali dari titik awal dengan diselimuti
keragu-raguan. Apakah kebenaran ini cukup berharga untuk
diperjuangkan? Apalagi kalau ada banyak yang menjadi taruhannya.

Momen-momen penting di dalam konflik seperti di atas itulah yang
membentuk seorang pemimpin. Momen-momen tersebut kritis karena
menyentuh dan menguji fondasi karakter dan sistem nilai kita. Tanpa
melalui momen-momen tersebut, pemimpin tidak akan pernah teruji
dengan baik.

Respons Yesus terhadap pengkhianatan Yudas adalah respons yang
sangat luar biasa. Hal itu juga menjadi perbedaan signifikan yang
membedakan Yesus dengan ketiga wanita tersebut. Yesus mengetahui
sejak semula bahwa Yudas akan berkhianat, sementara Rowley, Watkins,
dan Cooper tidak pernah menyangka sahabat dan koleganya akan
mengkhianatinya. Meskipun Yesus tahu akan dikhianati, Ia tetap
melayani Yudas, membasuh kakinya, dan mengeringkannya dengan penuh
kasih. Kita patut bersyukur dengan teladan tersebut.

Ketiga wanita yang menjadi Persons of the Year tersebut tidak pernah
menyebut diri mereka sebagai pemimpin. Mereka juga tidak pernah
berambisi menjadi seorang publik figur -- kemunculan mereka ke mata
publik disebabkan apa yang mereka lakukan bocor ke tangan media.
Namun, apa yang telah mereka lakukan membuat mereka pantas
menyandang gelar pemimpin. Mereka bukan saja Persons of the Year,
tetapi juga Leaders of the Year.

Diringkas dari:
Judul buku : Kepemimpinan Konsep Karakter Kompetensi Kristen
Judul artikel: Memimpin di Tengah Konflik
Penulis : Sendjaya
Penerbit : Kairos Books, Yogyakarta 2004
Halaman : 149 -- 155

==================================**==================================
ARTIKEL 2

-*- KONFLIK: API PENYUCIAN DALAM KEPEMIMPINAN -*-

Dua bayangan muncul dengan cepat dalam pikiran saya sewaktu
seseorang meminta saya menggambarkan kepemimpinan dan konflik --
Musa dan Nehemia -- yaitu Edwin Musa dan Rinaldo Nehemiah.

Anda masih ingat orang-orang ini? Edwin Musa adalah pelari
gawang 400 meter yang terhebat di dunia. Selama lebih dari satu
dasawarsa, dia tidak pernah kalah. Di tahun 1976, dia memenangkan
sebuah medali emas di Olimpiade Montreal. Rinaldo Nehemiah adalah
pelari gawang 100 meter kelas dunia. Yang menarik, dua lelaki
tersebut adalah pelari-pelari yang kuat, tetapi banyak pelari yang
lebih kuat. Keduanya adalah pelari yang cepat, tetapi ada banyak
juga yang lebih cepat.

Jadi mengapa Musa dan Nehemia selalu menang? Mereka memunyai
kemampuan yang unik untuk mengantisipasi, mendekati, dan mengatasi
rintangan-rintangan -- yaitu pelari-pelari gawang lainnya. Musa dan
Nehemiah adalah pelari-pelari yang hebat, seperti Musa dan Nehemia
yang merupakan pemimpin-pemimpin hebat dikarenakan oleh
rintangan-rintangan.

Dengan kata lain, rintangan-rintangan membuat mereka hebat. Seperti
rintangan-rintangan mencetak pelari, maka konflik menetapkan
pemimpin. Untuk menetapkan kepemimpinan, pertama kali kita harus
memahami sifat-sifat konflik.

Suatu masalah yang besar dalam gereja sekarang ini adalah bahwa kita
memberikan definisi kepemimpinan jauh terlalu luas dan hampir selalu
tidak menghargai peran konflik dalam pelaksanaan fungsi
kepemimpinan. Para pemimpin diperlukan meskipun disebabkan oleh
konflik. Di Amerika, orang-orang Kristen telah memeluk dua pandangan
yang salah mengenai konflik yang secara negatif memengaruhi
bagaimana kita memahami kepemimpinan. Pandangan yang pertama,
melihat konflik dalam arti dosa. Yang kedua, melihat konflik dalam
arti kekuatan. Pandangan-pandangan ini jarang diungkapkan, tetapi
masing-masing pandangan didasarkan pada serangkaian pegangan yang
mendalam. Sering kali asumsi-asumsi yang tidak didasari asumsi
inilah yang menuntun perilaku.

Mereka yang melihat konflik sebagai dosa memfokuskan pada emosi yang
disebabkan oleh konflik. Takut menyakiti orang lain, karenanya
konflik dihindari seperti menghindari dosa. Orang-orang enggan
berkonfrontasi, marah, tidak setuju, atau melukai hati. Mereka
seperti pelari-pelari yang menemukan gawang dan berhenti,
mengharapkan gawang itu hilang, atau seperti pelari-pelari yang
mengelilingi gawang, dan tidak melompatinya, sehingga mengganggu
pelari-pelari lain yang sementara lari.

Ironisnya, tentu saja, sikap tersebut meningkatkan hal-hal yang
sedang mereka coba untuk hindari. Konflik yang tidak terpecahkan
tidak hilang begitu saja. Konflik makin terpecah-pecah, menghasilkan
luka yang lebih dalam. Seorang "pemimpin" yang tidak mau menghadapi
konfrontasi bukanlah seorang pemimpin.

Yang sangat berlawanan adalah mereka yang memandang konflik sebagai
suatu cara untuk membentuk kekuatan dan membentuk kedudukan -- untuk
menunjukkan siapa bos itu. Di mana pandangan yang pertama itu pasif
dan mendamaikan, sedangkan pandangan yang kedua agresif dan
otoriter. Orang-orang yang memegang pandangan ini adalah seperti
pelari yang menyerang dan menendang setiap gawang sampai jatuh,
menjebloskan diri sendiri, dan mengganggu setiap orang yang mau
bangun kembali. Setiap masalah dan perselisihan pendapat
menyalahgunakan hal rohani untuk membuktikan "saya benar" dan "kamu
salah". Perbedaan-perbedaan yang paling kecil menjadi ujian.
Perbedaan ini menciptakan suatu budaya konfrontasi di mana ketakutan
dan rasa bersalah mengontrol perilaku. Ini adalah satu jenis aliran
Farisi yang menunjukkan loyalitas dan otonomi lebih daripada menjadi
hamba dan komunitas. Seorang "pemimpin" yang tidak mau melayani
bukanlah seorang pemimpin.

Kedua pandangan itu memunyai berbagai dasar kebenaran, konflik
sering kali akibat dari dosa, akibat dari hidup di dunia yang
berdosa ini. Meskipun demikian, tidak semua konflik adalah dosa.
Agaknya dosa membuat konflik itu perlu, dan memecahkan konflik
memerlukan kepemimpinan yang diarahkan oleh Roh Kudus. Tentu saja,
kuncinya adalah otoritas rohani, bukan kekuasaan manusia. Otoritas
rohani berbeda dalam sifat dan hakikatnya dari jenis kekuatan dan
pengontrolan yang biasa kita pikirkan, dan terlalu sering kita
andalkan untuk kepemimpinan dalam gereja.

KONFLIK DALAM ALKITAB

Konflik dalam pemahaman Alkitab, merupakan suatu tempat
pertandingan, arena tempat musuh untuk bertanding. Kata Yunani untuk
konflik adalah "agon", yang kita ambil dari bahasa Inggris "agony".
Rasul Paulus menuliskan, "Sebab keinginan daging berlawanan dengan
keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging
-- karena keduanya bertentangan -- sehingga kamu setiap kali tidak
melakukan apa yang kami kehendaki." (Gal. 5:17) Paulus mengatakan
bahwa kehidupan merupakan tempat pertandingan rohani, "karena
perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan
pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan
penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di
udara." (Ef. 6:12)

Bagi Paulus, konflik merupakan bentrokan antara kebenaran Tuhan
dengan kebijaksanaan dunia, antara otoritas rohani dan kekuatan
manusia. Pandangan ini menunjukkan pandangan umum mengenai kekuatan
pada permukaannya saja. Salib, "Suatu batu sandungan bagi
orang-orang Yahudi dan kebodohan untuk orang-orang bukan Yahudi." (1
Kor. 1:23), menjadi titik balik sejarah dan sandi dari otoritas yang
sejati. Pesan Paulus kepada jemaat di Korintus muncul "tidak dengan
kata-kata hikmat dan meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan
kekuatan Roh, supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat
manusia, tetapi pada kekuatan Allah." (1 Kor. 2:4,5). Ini
menggemakan apa yang Tuhan firmankan kepada Zerubabel, "Bukan dengan
keperkasaan dan bukan dengan kekuatan, melainkan dengan Roh-Ku."
(Zak. 4:6)

Dalam Alkitab, konflik sangat menyumbat kepercayaan. Ini merupakan
ketegangan yang kreatif antara hukum dan anugerah, dosa dan
pengampunan, keadilan dan belas kasihan. Ini dimulai dan diakhiri
dengan cerita keselamatan, dari Taman Eden ke Golgota, dan
pengrusakan terhadap bait Allah sampai ke Yerusalem Baru.

Pengertian ini mengubah pandangan kita. Sekarang, konflik adalah
kesempatan untuk menunjukkan suatu realitas baru dalam Kristus.
Kepemimpinan juga merupakan suatu proses, bukan suatu kedudukan;
kepemimpinan adalah belajar dan melayani, bukan mengontrol.

Konflik menawarkan pada kita kesempatan untuk bertumbuh, untuk
mengubah pemikiran-pemikiran kita, dan untuk menciptakan tanggung
jawab baru berdasarkan kebenaran Tuhan yang difirmankan. Ini membuka
pintu bagi keseluruhan rangkaian asumsi-asumsi dan prinsip-prinsip
yang baru bagi kepemimpinan rohani, termasuk dua asumsi yang membuat
dasar bagi bab ini. Asumsi pertama, konflik-konflik itu perlu. Yang
kedua, kepemimpinan merupakan suatu panggilan dan karunia.

KONFLIK ITU PERLU

Jika kematian dan pajak-pajak merupakan dua hal pertama yang pasti
dalam kehidupan, maka konflik merupakan hal ketiga. Kehidupan
memerlukan konflik. Konflik merupakan bagian pokok dari rencana
penebusan Tuhan. Melalui konflik, kita mengetahui kebutuhan kita,
mengakui dosa, mengenal kebenaran, dan menguji iman kita.

Pikirkan tentang di mana kita akan berada, sebagai contoh, jika Nuh
tidak membuat bahtera dalam "ketakutan yang suci"; jika Musa tidak
menentang Firaun atau membuat dalih di hadapan Tuhan untuk
melindungi Israel yang bersikeras; jika Yosua tidak bergerak di
sekitar Yerikho, atau Rahab tidak menyembunyikan mata-mata; jika
Gideon, Simson, Daud, Yesus, dan pengikut-pengikut Kristus sepanjang
2000 tahun sejarah sejak Kalvari telah menghormati, pendapat
manusia lebih daripada kehendak Allah. Cerita tentang iman kita
memerlukan konflik. Dengan konflik, kita belajar dan bertumbuh.

Hanya dengan memercayai Allah melalui sakit, ketidakpastian, dan
perlawanan, maka kita membuktikan kehendak-Nya dan mendemonstrasikan
kuasa-Nya. Kepemimpinan rohani berarti membuat keputusan-keputusan
yang meliputi dua hal, yaitu menyebabkan konflik dan memecahkan
konflik. Keputusan seorang pemimpin untuk mengerjakan suatu hal atau
untuk menjalankan satu cara harus menjadi suatu keputusan untuk
tidak melakukan hal-hal yang lain atau menjalankan cara yang
berlawanan.

Pengertian Alkitab mengenai konflik mengubah pandangan kita. Bahaya
berubah menjadi kesempatan. Kepemimpinan menjadi seni dalam
menemukan kebenaran dan menaati Yesus.

Ini selanjutnya mengubah cara dalam pendekatan konflik. Konflik
menjadi suatu proses belajar. Konfrontasi dan penghindaran diganti
dengan penemuan dan dialog. Daripada menanyakan bagaimana keluar
dari konflik, kita dapat bertanya lebih mendalam, dengan pertanyaan
yang lebih relevan, "Apakah menjadi pengikut Kristus harus melalui
konflik?"

Diambil dan disesuaikan dari:
Judul buku: Leaders On Leadership
Judul bab : Konflik: Api Penyucian dalam Konflik
Penulis : George Barna
Penerbit : Gandum Mas, Malang 1997
Halaman : 305 -- 310

==================================**==================================
TIPS

-*- LANGKAH-LANGKAH MENANGANI KONFLIK -*-

Konflik memang bukan sesuatu yang menyenangkan, apalagi jika Anda
terlibat di dalamnya. Dan boleh dikata, semua orang pasti pernah
terlibat dalam suatu konflik.

Tentu saja sebelum Anda berurusan dengan situasi semacam itu, Anda
harus terlebih dahulu berdoa; memohon kebijaksanaan, pemahaman, dan
agar Tuhan menyingkapkan akar permasalahan, mendamaikan, dan
memulihkan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.

Selain itu, ada beberapa tips yang mungkin dapat membantu Anda untuk
menyelesaikan suatu konflik.

1. Menjadi Pendamai. Alkitab mengatakan bahwa tujuan kita sebagai
orang-orang yang telah lahir baru ialah menjadi pendamai.
Seseorang yang memahami benar posisinya sebagai pendamai akan
membantu pihak-pihak yang terlibat dalam konflik mengerti dari
mana harus memulai menyelesaikan konflik. Sebagai pendamai,
tujuan kita adalah untuk membawa kedamaian, menyelesaikan
konflik, dan memulihkan kesatuan.

2. Tetap netral. Penting bagi Anda untuk tetap netral jika ada
dua/lebih pihak yang sedang berselisih paham. Dengan tetap
netral, Anda tidak memihak siapa pun, tapi berperan sebagai
mediator -- tidak memihak mana pun tapi memastikan adanya
kebenaran dan keadilan dalam situasi tersebut.

3. Dengarkan kedua (atau lebih) pihak. Setiap cerita terdengar
sangat bagus sampai saat Anda mendengarkan cerita yang lain.
Usahakan untuk mendengar semua versi cerita yang ada dan jangan
menghakimi sampai Anda mendengarkan cerita-cerita yang lain. Jika
sudah demikian, Anda akan mampu memahami benar apa yang terjadi
dan apa akar permasalahan dari sebuah konflik, dan kemudian dapat
membuat pengamatan dan kesimpulan.

4. Mau membujuk pihak-pihak untuk bertanggung jawab. Jika suatu
pihak/pihak-pihak telah melakukan hal yang salah, Anda harus
bersedia menghampiri pihak-pihak tersebut untuk membuat mereka
bertanggung jawab secara alkitabiah, menjelaskan kesalahan
mereka, dan menunjukkan apa yang Alkitab katakan mengenai apa
yang mereka lakukan. Minta mereka untuk bertobat bila perlu.
Dengan demikian, Anda akan memimpin mereka kepada Tuhan secara
alkiabiah dan mendorong mereka untuk berjalan dalam roh, bukan
dalam kedagingan mereka.

5. Nasihati pihak-pihak dalam konflik. Rasul Paulus adalah teladan
yang baik ketika ia menasihati dua orang wanita di Filipi 4:2,
"Euodia kunasihati dan Sintikhe kunasihati, supaya sehati sepikir
dalam Tuhan." Paulus memerlihatkan kepada mereka bahwa ia
mengasihi mereka berdua dan tidak memihak siapa pun, namun fokus
pada hal yang lebih penting -- rekonsiliasi.

6. Mendorong adanya rekonsiliasi. Paulus mendorong kedua wanita itu,
tidak peduli apa permasalahan mereka, untuk sehati sepikir dalam
Tuhan. Tanggung jawab kita adalah mendorong pihak-pihak yang
berkonflik agar mau menyelesaikan masalahnya, berdamai, saling
berkomunikasi, dan juga bertanggung jawab atas tindakan mereka
serta bersedia untuk minta maaf jika memang perlu.

7. Satukan pihak-pihak yang berselisih paham. Saat mereka setuju
untuk berdamai, langkah selanjutnya ialah menetapkan waktu untuk
mereka saling bertemu dan berekonsiliasi dengan Anda berperan
sebagai mediator. Jika mereka menghendaki hal semacam itu
sendiri, bagus, tapi jika tidak, seorang mediator harus hadir
juga. Usahakan untuk bicara secara pribadi dengan pihak-pihak
yang terlibat sebelum pertemuan dimulai. Itu dilakukan untuk
memberikan kepada mereka hikmat ilahi dan pencerahan dalam
situasi melalui Alkitab dan mendorong mereka untuk berdamai.

8. Beri semua pihak kesempatan berbicara. Pada pertemuan
rekonsiliasi, minta pihak-pihak yang ada untuk membagikan pikiran
dan perasaan mereka sehubungan dengan apa yang terjadi. Dengarkan
mereka dan arahkan mereka agar mereka tidak berdebat lagi, namun
tetap fokus pada tujuan pertemuan -- untuk berdamai dan saling
memaafkan. Akan baik jika Anda sebagai mediator mengutarakan
keinginan Anda tentang bagaimana pertemuan itu akan berjalan. Hal
itu akan membuat Anda semakin siap dan pertemuannya pun akan
berjalan dengan lebih baik -- fokus pada tujuannya, yakni
rekonsiliasi.

9. Dorong mereka untuk memaafkan dan melupakan yang lalu. Sebelum
mengakhiri pertemuan itu, katakan pada mereka untuk benar-benar
saling memaafkan dan melupakan kejadian yang sudah-sudah, jangan
sampai diungkit-ungkit lagi di kemudian hari. Meskipun mereka
membutuhkan waktu untuk pulih, namun dengan menjelaskan kepada
mereka bahwa memaafkan adalah melupakan kesalahan, mereka tidak
akan tenggelam dalam amarah dan perpecahan lagi.
(t/Dian)

Diterjemahkan dan diringkas dari:
Nama situs : Filoiann Wiedenhoff.com
Judul artikel: Practical Steps to Resolving Conflict
Penulis : Filoiann Wiedenhoff
Alamat URL : http://www.filoiannmwiedenhoff.highpowersites.com/page/page/5275438.htm

Comments